Insaflah wahai Insan!

Thursday, July 31, 2008

Hukum bertepuk tangan.

Pertanyaan: Apa hukum bertepuk tangan bagi laki-laki pada momen tertentu dan pertemuan-pertemuan?

Jawab:
Bertepuk tangan dalam pertemuan-pertemuan merupakan perbuatan jahiliah. Pendapat yang paling ringan menyatakan hukumnya makruh. Dan yang lebih nyata dari dalil-dalil yang ada adalah bahwa hal itu haram, karena kaum muslimin dilarang menyerupai orang-orang kafir. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan sifat orang kafir penduduk Makkah:
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (Al-Anfal: 35)
Para ulama berkata: الْـمُكَاءُ adalah siulan sedangkan التَّصْدِيَةُ adalah tepuk tangan. Dan yang sunnah bagi seorang mukmin ketika melihat atau mendengar sesuatu yang mengagumkan atau yang dia ingkari adalah mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah) atau Allahu Akbar (Allah Maha Besar), sebagaimana hal ini shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits.
Dan disyariatkan tepuk tangan khusus bagi wanita ketika mereka mengingatkan sesuatu dalam shalat, atau ketika mereka shalat bersama laki-laki dan imamnya lupa. Ketika itu disyariatkan bagi wanita untuk mengingatkan dengan tepukan tangan. Adapun laki-laki mengingatkan imam dengan tasbih (ucapan Subhanallah) sebagaimana hal ini shahih dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sini diketahui bahwa tepuk tangan bagi lelaki adalah perbuatan menyerupai orang kafir dan wanita. Keduanya merupakan hal yang dilarang bagi kaum lelaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang memberi taufiq.
(Disebarkan dalam Fatawa beliau pada kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr yang beliau keluarkan dalam majalah bulanan Al-Arabiyyah, diambil dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6)

Hukum Berdiri Untuk Menyambut

Pertanyaan: Seseorang masuk dalam keadaan saya di suatu majelis. Para hadirin kemudian berdiri, namun saya tidak berdiri. Haruskah saya berdiri? Apakah orang yang berdiri berdosa?

Jawab:
Anda tidak harus berdiri menyambut orang yang datang. Namun hal ini termasuk akhlak yang mulia. Barangsiapa yang berdiri untuk menjabat tangannya dan menuntunnya –terlebih lagi tuan rumah dan para pemuka– maka ini merupakan akhlak yang mulia. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiyallahu ‘anha (putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red), demikian juga Fathimah radhiyallahu ‘anha berdiri menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para shahabat berdiri atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyambut Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika dia datang untuk menghukumi Bani Quraizhah. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu datang pada peristiwa diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat kepadanya kemudian duduk.
Ini merupakan akhlak yang mulia, dan perkaranya lapang. Yang dingkari adalah berdiri untuk mengagungkan. Adapun berdiri untuk menyambut tamu yang datang dalam rangka memuliakannya, menjabat tangannya, atau memberi salam hormat, ini merupakan perkara yang disyariatkan. Adapun dia berdiri untuk mengagungkan sedangkan yang lain duduk, atau dia berdiri ketika ada yang masuk tanpa menyambut atau menjabat tangannya, ini tidak pantas. Yang lebih keras (pelarangannya) adalah berdiri untuk mengagungkannya dalam keadaan (yang diagungkan itu) duduk, bukan untuk menjaga tapi semata untuk mengagungkan.
Berdiri ada tiga macam:
Pertama: berdiri terhadap seseorang dalam keadaan orang itu duduk, seperti orang-orang ajam (non Arab) mengagungkan raja dan pembesar mereka. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk duduk ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat sambil duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk. Ketika mereka berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hampir-hampir kalian mengagungkan aku sebagaimana orang-orang ajam mengagungkan pembesar mereka.”
Kedua: berdiri untuk kedatangan atau kepergian seseorang, tanpa menyambut atau menjabat tangannya, namun semata-mata untuk mengagungkannya. Hal ini minimalnya makruh. Dahulu para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak berdiri untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masuk kepada mereka, ketika mereka mengetahui ketidaksukaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu.
Ketiga: berdiri untuk orang yang datang untuk menjabat tangannya atau menuntunnya untuk menempatkannya pada tempat tertentu, atau mendudukkannya pada tempatnya, atau yang serupa dengan itu. Hal ini tidak mengapa, bahkan termasuk Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red) sebagaimana telah lalu.
(Dimuat dalam majalah Al-Arabiyyah dalam kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr, dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6)

Jauhi sifat sangka buruk dan fitnah.

Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)

Akhir kehidupan yang menghinakan.

Ajaran Ahmadiyah banyak mendapat penentangan dari para ulama di India. Di antara ulama yang terdepan menentangnya adalah Asy-Syaikh Tsana`ullah Al-Amru Tasri. Karena geram, Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan pernyataan pada tanggal 15 April 1907 yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Tsana`ullah. Di antara bunyinya:
“…Engkau selalu menyebutku di majalahmu (‘Ahlu Hadits’) ini sebagai orang terlaknat, pendusta, pembohong, perusak… Maka aku banyak tersakiti olehmu… Maka aku berdoa, jika aku memang pendusta dan pembohong sebagaimana engkau sebutkan tentang aku di majalahmu, maka aku akan binasa di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.
Aku umumkan bahwa jika engkau tidak mati semasa aku hidup dengan hukuman Allah yang tidak terjadi kecuali benar-benar dari Allah seperti mati dengan sakit tha’un, atau kolera berarti AKU BUKAN RASUL DARI ALLAH…
Aku berdoa kepada Allah, wahai penolongku Yang Maha Melihat, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, Yang mengetahui rahasia qalbu, bila aku ini adalah pendusta dan perusak dalam pandangan-Mu dan aku berdusta atas diri-Mu malam dan siang hari, ya Allah, maka matikan aku di masa hidup Ustadz Tsana`ullah. Bahagiakan jamaahnya dengan kematianku –Amin–.
Wahai Allah, jika aku benar dan Tsana`ullah di atas kesalahan serta berdusta dalam tuduhannya terhadapku, maka matikan dia di masa hidupku dengan penyakit-penyakit yang membinasakan seperti tha’un dan kolera atau penyakit-penyakit selainnya….
Akhirnya, aku berharap dari Ustadz Tsana`ullah untuk menyebarkan pernyataan ini di majalahnya. Kemudian berilah catatan kaki sekehendaknya. Keputusannya sekarang di tangan Allah.
Penulis, hamba Allah Ash-Shamad, Ghulam Ahmad, Al-Masih Al-Mau’ud. Semoga Allah memberinya afiat dan bantuan. (Tabligh Risalat juz 10 hal. 120)
Apa yang terjadi? Setelah berlalu 13 bulan 10 hari dari waktu itu, justru Ghulam Ahmad yang diserang ajal. Doanya menimpa dirinya sendiri.
Putranya Basyir Ahmad menceritakan: Ibuku mengabarkan kepadaku bahwa Hadrat (Ghulam Ahmad) butuh ke WC langsung setelah makan, lalu tidur sejenak. Setelah itu butuh ke WC lagi. Maka dia pergi ke sana 2 atau 3 kali tanpa memberitahu aku. Kemudian dia bangunkan aku, maka aku melihatnya lemah sekali dan tidak mampu untuk pergi ke ranjangnya. Oleh karenanya, dia duduk di tempat tidurku. Mulailah aku mengusapnya dan memijatnya. Tak lama kemudian, ia butuh ke WC lagi. Tetapi sekarang ia tidak dapat pergi ke WC, karena itu dia buang hajat di sisi tempat tidur dan ia berbaring sejenak setelah buang hajat. Kelemahan sudah mencapai puncaknya, tapi masih saja hendak buang air besar. Diapun buang hajatnya, lalu dia muntah. Setelah muntah, dia terlentang di atas punggungnya, dan kepalanya menimpa kayu dipan, maka berubahlah keadaannya.” (Siratul Mahdi hal. 109 karya Basyir Ahmad)
Mertuanya juga menerangkan: “Malam ketika sakitnya Hadhrat (Ghulam Ahmad), aku tidur di kamarku. Ketika sakitnya semakin parah, mereka membangunkan aku dan aku melihat rasa sakit yang dia derita. Dia katakan kepadaku, ‘Aku terkena kolera.’ Kemudian tidak bicara lagi setelah itu dengan kata yang jelas, sampai mati pada hari berikutnya setelah jam 10 pagi.” (Hayat Nashir Rahim Ghulam Al-Qadiyani hal. 14)
Pada akhirnya dia mati tanggal 26 Mei 1908.
Sementara Asy-Syaikh Tsana`ullah tetap hidup setelah kematiannya selama hampir 40 tahun. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala singkap tabir kepalsuannya dengan akhir kehidupan yang menghinakan, sebagaimana dia sendiri memohonkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kini siapa yang sadar dan bertobat setelah tersingkap kedustaannya?
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tuesday, July 29, 2008

Lalat lebih mengetahui.

Jika anda prihatin sila sebarkan maklumat ini terutamanya bagi orang Islam. (Ini adalah maklumat penting yang perlu disebarkan khususnya pada semua umat Islam.) Tidak dapat dinafikan bahawa sebahagian besar ikan-ikan yang Kita makan setiap Hari adalah diimport dari negara Thai. Setelah ditangkap oleh perusahan para nelayan di sana ,ikan-ikan itu dimasukan ke dalam kontena Dan ditimbus dengan ketulan-ketulan air batu supaya ianya boleh bertahan lama sepanjang perjalanan ke Malaysia & Singapura. Perjalanan biasanya mengambil masa selama 6 atau 7 jam.... Dan masa itu Ikan-ikan tersebut tiba di Malaysia Dan Singapura dengan keadaan lesu Dan kurang segar. Untuk mengelakkan berlakunya perkara ini... Pihak pengusaha perikanan di negara Thai kini menggunakan teknik baru.Tahu kah anda semua.. Teknik baru yang digunakan itu? Sebelum dieksport.. Semua ikan-ikan direndam dulu di dalam air yang dicampur dengan kimia bernama FOMILIN. Ini adala bertujuan supaya ikan-ikan yang dieksport itu boleh bertahan jauh lebih lama Dan kelihatan masih 'fresh', keras Dan segar bila sampai ke distinasinya. Tahu kah anda semua... Apa itu kimia bernama FOMILIN? FOMILIN merupakan sejenis kimia yang disuntik ke dalam mayat supaya ianya boleh bertahan lama. Bahasa omputih 'embalm'.Mayat-mayat insan Islam diharamkan disuntik dengan kimia ini. Sekarang... Tanpa disedari... ikan-ikan yang Kita makan Hari-Hari mengandungi kimia itu. Apa hukumnya pulak? Kalau Kita beli ikan di pasar... Ada caranya untuk Kita mengesan. Kalau ikan-ikan itu TIDAK dihinggapi lalat.. Bermakna ikan-ikan itu telah direndam dengan kimia Fomilin... Kerana .. Lalat lebih mengetahui.

Monday, July 14, 2008

Ketika Pertama Kali Membuka Kitab “Ringkasan Shahih al-Bukhari”

*Catatan dari seorang hamba muslim.

Pengalaman kira-kira sekitar lima tahun yang lalu, bagi aku agak menggelikan hati dan membuatkan aku sentiasa tersenyum mengingatkannya.

Iaitu ketika mana pertama kali aku membuka, membelek-belek, dan mula membaca isi kandungan sebuah kitab yang dikatakan sebagai sebuah kitab sumber agama kedua terpenting selepas al-Qur’an. Dengan berbantukan sebuah semangat mahukan ilmu dalam beragama, aku usahakan memiliki sebuah kitab hadis yang merupakan sebuah kitab ringkasan dari salah satu kitab hadis terkemuka. Iaitu kitab Shahih al-Bukhari yang telah diringkaskan susunan Imam az-Zabidi, terbitan Crescent News (KL) SDN. BHD.

Sungguh membuatkan aku pelik dan sedikit runsing apabila membaca beberapa hadis di dalamnya yang kebanyakannya bercanggah dengan kefahaman aku dan amalan masyarakat sekelilingku. Pada ketika itu, aku sempat memulakan dengan melangkah kepada topic-topic tertentu dari kitab tersebut sekitar Kitab Solat dan Thaharah.

Mana tidaknya, suatu yang di luar kebiasaan aku, tetapi ada di dalam kitab Shahih tersebut. Sungguh pelik, kenapa doa qunut bukan hanya saja boleh dibaca di dalam solat subuh. Tetapi juga di dalam solat-solat fardhu yang lain, malah mana-mana solat fardhu. Hatiku berbisik, “Kenapa macam ini ye...?”

Aiii, dalam keadaan luka-luka berdarah pun boleh menunaikan solat? Tak najis ke? Mana boleh solat dalam keadaan ada najis?

Emmm, mengapa boleh juga membaca surah di dalam solat bukan terhad kepada rakaat pertama dan kedua sahaja ke? Malah rupa-rupanya membaca surah di rakaat ketiga dan keempat juga ada contohnya... “peliknya aku rasakan...”

Agak terkejut, bahawa tersebut di dalam kitab al-Bukhari tersebut bahawa bolehnya bergerak-gerak dan berjalan di dalam solat seperti untuk mendukung anak, menghalang orang yang melintasi semasa solat, mengawal pergerakan keldai ketika solat, juga yang seumpama dengannya. Sedangkan apa yang aku fahami sebelum ni, mana boleh gerak-gerak ikut suka hati. Kalau boleh pun, dalam gerakan yang kecil dan tak lebih tiga kali...

Begitulah beberapa perkara yang aku terbaca darinya, membuatkan aku begitu sukar menerima bahawa ia adalah suatu yang benar adanya. Sehinggakan ia menjadikan aku berprasangka, “benarkah kitab ini???”.

Begitulah beberapa perkara yang agak merunsingkan aku ketika pertama kali mula cuba memahami hadis-hadis yang telah direkodkan/dibukukan oleh Imam al-Bukhari. Sehinggakan atas sebab kejahilan dan prasangka yang tidak menyenangkan, aku meninggalkannya selama hampir satu tahun begitu sahaja kitab tersebut tanpa aku buka. Semuanya atas kerana kepelikan yang aku rasai daripada kitab tersebut lantaran beberapa kandungannya yang kontra dengan amalan semasa.

Namun, akhirnya aku diberikan kefahaman yang aku bersyukur dengannya. Dan dengan kefahaman tersebut aku kembali membukanya naskhah demi naskhah. Yang mana, kebenaran dalam beragama itu bukanlah diasaskan berdasarkan adat kebiasaan yang aku lihat selalu dari masyarakatku mengamalkannya. Tetapi, kebenaran itu adalah kembali kepada Kitabullah dan sunnah-sunnah Rasulullah yang sahih walau ia dianggap begitu pelik dan aneh bagi mereka yang tidak dan belum memahami... (Wallahu a’lam...)

Nawawi Subandi,
07:20, 14/07/2008,
Bandaraya Anggerik (Shah Alam).

Sunday, July 13, 2008

Menutup hujung malam dengan witir

Al-Witr (atau Witir), menurut syar’i adalah solat yang dilakukan di antara isya’ hingga terbit fajar. Solat malam ditutup dengan solat witir. Dinamakan solat witir kerana jumlah rakaatnya ganjil, seperti satu, tiga, lima, atau lebih, dan bukan genap.

Berkenaan solat witir, ianya diperselisihkan dalam suatu sisi/sudut. Ada yang menyatakan bahawa ia adalah sebahagian dari solat malam atau Tahajjud. Manakala sebahagian yang lain menyatakan bahawa solat witir tidak termasuk dalam kategori solat tahajjaud. (Rujuk: al-Majmu’, al-Imam an-Nawawi. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, jil. 2, m/s. 20)

Solat witir adalah penutup bagi solat-solat malam adalah berdasarkan dalil-dalil berikut,

Daripada Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa mengerjakan solat pada malam hari. Ketika beliau hendak mengerjakan solat witir, beliau membangunkan aku, “Bagunlah untuk mengerjakan solat witir wahai Aisyah”. Aku pun mengerjakan solat witir” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Hadis dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khuwatir tibanya waktu subuh, maka solatlah witir satu rakaat untuk menutup solat malam yang telah dilakukan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

“Jadikanlah solat terakhir kamu pada malam hari sebagai witir.” (Hadis Riwayat Muslim)

Hukum Solat Witir

Solat witir adalah suatu sunnah yang muakkadah (yang ditekankan perlaksanaannya). Ini adalah pendapat majoriti ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang sesudah mereka. Manakala pendapat dari mazhab Abu Hanifah, ia mengatakan sebagai solat yang diwajibkan, dan ia merupakan suatu pendapat yang ganjil dari beliau.

Ini dijelaskan sebagaimana hadis berikut ini,

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Witir itu tidak wajib sebagaimana perihal solat maktubah (solat yang telah diwajibkan), akan tetapi ia sunnah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Hadis Riwayat an-Nasa’i dan at-Tirmidzi. Dihasankan oleh at-Tirmidzi, Sahih menurut al-Hakim, dan juga disahihkan oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi)

Menurut al-Imam ash-Shan’ani,

Majoriti ulama berpendapat tidak wajibnya solat witir. Mereka berdalilkan dengan hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, “Witir bukanlah kewajiban sebagaimana perihal solat fardhu, akan tetapi merupakan solat sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Lihat: Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007, oleh al-Imam ash-Shan’ani, jil. 2, m/s. 587)

Waktu Untuk Berwitir

Para ulama bersepakat bahawa solat witir dilakukan di antara waktu Isya’ hingga terbit fajar.

Ini adalah berdasarkan beberapa hadis yang berikut,

Dari Abu Sa’id secara marfu’,

“Berwitirlah sebelum tiba waktu Subuh.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Bashrah secara marfu’,

“Sesungguhnya Allah menambah bagi kalian satu rakaat, iaitu solat witir, maka kerjakanlah solat tersebut di antara solat Isya’ sehingga terbit fajar.” (Hadis Riwayat Ahmad dan ath-Thahawi. Disahihkan oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Hadis dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khuwatir tibanya waktu subuh, maka solatlah witir satu rakaat untuk menutup solat malam yang telah dilakukan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu sa’id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mendapati subuh tetapi dia belum mengerjakan solat witir, tidak ada kewajiban baginya untuk mengerjakan witir.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban di dalam Shahihnya. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Ibnu Khuzaimah dan juga Sahih menurut Syu’aib al-Arnouth di dalam Shahih Ibni Hibban)

Berwitir Di Awal Malam Atau Akhir Malam

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa di antara kamu yang khuwatir tidak terbangun pada akhir malam, maka hendaklah ia berwitir pada awal malam lalu tidur. Barangsiapa di antara kalian yang ingin bangun pada akhir malam, hendaklah ia berwitir pada akhir malam. Kerana solat pada akhir malam itu disaksikan oleh para malaikat dan itu lebih afdhal.” (Hadis Riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Kepelbagaian Bentuk Solat Witir Menurut Bilangan rakaat

1 - Satu Rakaat Witir,

“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khuwatir tibanya waktu subuh, maka solatlah witir satu rakaat untuk menutup solat malam yang telah dilakukan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Aisyah, “Bahawasanya Rasulullah biasa solat malam sebelas rakaat, beliau menutupnya dengan satu rakaat Witir.” (Hadis Riwayat Muslim)

2 - Tiga Rakaat Witir,

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Solat witir merupakan hak setiap Muslim. Oleh kerana itu, barangsiapa ingin mengerjakan witir tiga rakaat, hendaklah dia mengerjakannya. Dan barangsiapa mengerjakan satu rakaat, hendaklah dia mengerjakannya.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi daud)

i - Mengerjakan solat witir tiga rakaat dengan satu tasyahud dan satu salam,


Ini adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah menambah solat malam lebih dari sebelas rakaat, sama ada pada bulan Ramadhan atau pun di luar Ramadhan. Beliau solat empat rakaat, dan jangan ditanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau solat empat rakaat, dan jangan ditanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau solat tiga rakaat”. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan juga dari Aisyah, “Rasulullah pernah mengerjakan solat Witir tiga rakaat, dan tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang terakhir.” (Hadis Riwayat Malik, al-Baihawi, ath-Thahawi, an-Nasa’i, dan al-Hakim)

Tidak disyariatkan mengerjakan tiga rakaat Witir dengan dua tasyahud dan satu salam, seperti solat Maghrib. Ini adalah berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu berwitir tiga rakaat. Berwitirlah dengan lima atau tujuh rakaat. Janganlah menyerupakannya dengan solat Maghrib.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Hibban, dan ad-Daruquthni. Disahihkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam at-Talkhish dengan menyatakan, “Seluruh sanadnya tsiqah (terpercaya)”)

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah menggabungkan di antara hadis-hadis yang ada dan juga beberapa atsar yang menunjukkan disyariatkannya solat Witir dengan tiga rakaat. Dia memberi indikasi bahawa solat tersebut bersambungan dengan satu tasyahud saja di akhir rakaat. Adapun hadis yang menunjukkan melarang Witir tiga rakaat adalah sebenarnya menunjukkan bahawa solat Witir itu yang dengan dua tasyahud (tanpa dipisahkan dengan salam), kerana keserupaan solat itu dengan solat maghrib. (Fathul Bari, 2/481, Nailul Authar, 2/214 (imam asy-Syaukani). Dinukil dari: Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kedua – Januari 2008, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, jil. 1, m/s. 443)

ii - Solat Witir Tiga Rakaat Dengan Dua Salam,

Ini adalah berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia menyatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam pernah memisahkan di antara yang genap (dua rakaat) dan ganjil (satu rakaat) dengan salam yang beliau perdengarkan kepada kami.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban dan Ahmad. Menurut al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani sanad hadis ini qawiy (kuat). Menurut al-Albani, hadis ini memiliki satu penguat yang marfu’)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu, “Bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan Witir satu rakaat dan berbicara di antara dua rakaat dan satu rakaat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Lihat di dalam al-Irwa’ al-Ghalil, oleh al-Albani)

Dalam hal ini, Ibnu Hibban telah membuat satu bab dalam, Kitab Shahihnya, dengan judul: “Tentang riwayat yang menunjukkan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa memisahkan dengan salam di antara dua rakaat pertama dengan rakaat ketiga.”

Surah Yang Dibaca,

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia menyatakan, Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam biasa membaca dalam solat witir dengan “سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى” dan “قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ” serta “قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ”, rakaat demi rakaat.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

3 – Solat Witir Lima Rakaat Satu Tasyahud,

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Nabi solat malam tiga belas rakaat, termasuk Witir lima rakaat dan tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang terakhir.” (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi)

Dianjurkan jika berwitir lima rakaat untuk tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang kelima.

4 – Solat Witir Tujuh Rakaat,

i – Tujuh rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di rakaat yang terakhir,

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masuk usia tua dan sudah semakin kurus, beliau mengerjakan solat witir tujuh rakaat.” (Hadis Riwayat Muslim) Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Beliau tidak duduk melainkan pada rakaat yang terakhir...” (Hadis Riwayat an-Nasa’i. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia menyatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengerjakan solat witir tujuh atau lima rakaat yang masing-masing rakaat tidak dipisahkan oleh salam dan juga ucapan.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

ii – Tujuh rakaat tanpa duduk kecuali pada rakaat keenam,

Ia adalah berdasarkan hadis daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia menyatakan, “Kami pernah menyiapkan untuk beliau siwak dan air untuk bersuci. Allah membangkitkan (membangunkan) beliau bersesuain dengan kehendak-Nya pada suatu malam lalu beliau bersiwak dan berwudhu’. Kemudian beliau mengerjakan solat tujuh rakaat tanpa duduk, kecuali pada rakaat yang keenam (tasyahud). Kemudian beliau duduk, berdzikir kepada Allah lalu berdoa.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban. Sanadnya dinilai sahih menurut Syaikh Syu’aib al-Arnouth di dalam Shahih Ibni Hibban)

5 – Solat Witir Sembilan rakaat,

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “.. Kami pernah menyiapkan untuk beliau siwak dan air untuk bersuci. Allah membangkitkan beliau bersesuaian dengan kehendaknya pada suatu malam, lalu beliau bersiwak dan berwudhu’. Kemudian beliau mengerjakan solat sembilan rakaat dengan tidak duduk, kecuali pada rakaat yang kelapan. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau bangkit dan tidak salam lalu beliau berdiri dan mengerjakan rakaat yang kesembilan. Setelah itu, beliau duduk lalu berdzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah. Kemudian beliau mengucapkan salam yang kami juga mendengarnya...” (Hadis Riwayat Muslim)

Tiada Dua Witir Dalam Satu Malam

Ini adalah berdasarkan hadis dari Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Disahihkan oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi)

Menurut Ibnu Qudamah rahimahullah,

“Mereka yang mengerjakan solat witir pada malam hari, kemudian bangun untuk mengerjakan solat Tahajjud, maka dianjurkan untuk mengerjakan dua rakaat, dua rakaat, dan tidak menambahkan solat witirnya. Pernyataan ini diriwayatkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Ammar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Aidz bin Amr, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, serta Aisyah radhiyallahu ‘anhum.

Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Tidakkah kamu menganggap bahawa Tahajjud tersebut membatalkan solat Witir?” Ia menjawab, “Tidak.” Setelah itu ia mengatakan, “Apabila seseorang melakukan hal itu, maka tiada masalah, kerana telah dilakukan juga oleh yang lain.” (Lihat: al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007, Jil. 2, m/s. 543-544)

Menurut Sheikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah,

“Yang disunnahkan adalah mengakhirkan solat witir, tetapi jika seseorang mengerjakan solat witir di awal malam, dia tidak perlu lagi mengerjakannya di akhir malam. Perkara ini didasarkan pada hadis, “Tidak ada dua witir dalam satu malam”. Orang yang berpendapat bahawa solat witir yang dikerjakan di awal malam itu terbatal oleh solat yang dikerjakan setelahnya maka dengan itu bererti dia mengerjakan solat witir tiga kali. Yang benar adalah jika seseorang telah mengerjakan solat witir di awal malam kemudian dia masih mengerjakan solat lagi di akhir malam, dia tidak perlu mengerjakan solat witir lagi, tetapi cukup dengan solat witir sebelumnya. (Lihat: Majmu’u Fatawaa ibn Baaz, 10/310-311. Dinukil dari Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kedua – Januari 2008, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, m/s. 451)

Membaca Doa Qunut Di Dalam Solat Witir

Perkataan/kata “Qunut” digunakan untuk beberapa makna, di antaranya adalah berdiri, diam, rutin beribadah, doa, tasbih, dan khusyu’. Menurut istilah, ialah nama untuk suatu doa yang diucapkan dalam solat pada waktu tertentu di saat berdiri. (al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ala al-Adzkar an-Nawawiyah, 2/286. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)

Di antara dalil yang menjadi dasar disunnahkan doa qunut di dalam solat witir adalah,

Hadis al-Hasan bin Ali, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam witir, “Allahummah dini fi man hadait... (dan seterusnya)”.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab: “Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan solat Witir, lalu beliau berqunut sebelum ruku’.” (Hadis Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Menurut Ibnu Qudamah, “Bahawa doa qunut dianjurkan pada rakaat terakhir dalam solat witir dan semua solat sunnah. Inilah pendapat yang disebutkan sebahagian sahabat kami dalam mazhab. Ini adalah pendapat atau riwayat Ibnu Mas’oud, Ibrahim, Ishaq, dan para ulama ra’yi (rasionalis).... ... Dalam riwayat Mawardzi, imam Ahmad telah mengatakan, “Aku berpendapat bahawa qunut tersebut dibaca pada pertengahan akhir bulan Ramadhan. Selain itu aku yakin bahawa Qunut adalah doa dan kebaikan.” Alasan pendapat imam Ahmad ini adalah sebuah riwayat Ubay, bahawa Rasulullah sering mengerjakan solat witir dan membaca doa qunut sebelum ruku’. (Lihat: al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, dan Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007, Jil. 2, m/s. 543-544)

Menurut Sheikh al-Albani, “... Kami katakan (perbuatan membaca qunut di dalam solat witir) kadang-kadang (bukan suatu yang dilakukan selalu), sebab bila Nabi selalu melakukannya, tentu para sahabat akan meriwayatkan hal tersebut. Memang hanya Ubay bin Ka’ab yang meriwayatkan hal itu dari Nabi. Oleh kerana itu, hal ini menunjukkan bahawa beliau melakukannya kadang-kadang dan hal ini tidak wajib. Inilah yang menjadi pendirian jumhur ulama. Hal ini juga diakui ahli fiqh, Ibnul Hamam dalam kitab Fathul Qadir (1/306, 259, dan 360). Beliau menyatakan bahawa mewajibkan qunut dalam witir adalah pendapat yang lemah yang tidak berasaskan dalil. Hal ini merupakan sikap lapang dada beliau...” (Lihat: Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Terbitan Media Hidayah, Cet. Kedua – 1996M, oleh Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, m/s. 224)

Doa Qunut Dibaca Pada Sebelum Ruku’ Atau Selepas Ruku’?

Dari imam Ahmad disebutkan bahawa ia mengatakan, “Aku berpendapat doa qunut dibaca setelah bangun dari ruku’. Apabila seseorang membaca qunut sebelumnya, itu pun diperbolehkan. Pendapat ini didukung oleh Ayyub as-Sakhtiani. Hal ini adalah berdasarkan riwayat Humaid, bahawa Anas pernah ditanya tentang doa qunut dalam solat subuh. Ketika itu dia menjawab, “Kami biasa membaca doa qunut sebelum ruku’.”

Menurut imam Malik dan Abu Hanifah, doa qunut dibaca sebelum ruku’. (Lihat: al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007, Jil. 2, m/s. 543-544)

Hadis-hadis yang mendukung kedua-dua pendapat ini adalah sebagaimana berikut,

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab: “Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan solat Witir, lalu beliau berqunut sebelum ruku’.” (Hadis Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Diriwayatkan dari ‘Ashim, ia berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, maka ia menjawab, “Qunut memang pernah dikerjakan”. Aku bertanya lagi, “Adakah seblum ruku’?” Ia menjawab, “Itu dusta. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah qunut sesudah ruku’ selama sebulan. Aku melihat beliau mengutus satu rombongan yang beranggotakan para penghafal al-Qur’an sebanyak lebih kurang tujuh puluh orang kepada suatu kaum dari kalangan musyrikin yang ternyata mereka diperangi, padahal sebelumnya antara mereka dengan Rasulullah terdapat perjanjian damai. Maka, Rasulullah berqunut selama satu bulan untuk mendoakan keburukan ke atas mereka.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah membaca setelah selesai dari bacaan solat Subuh dan bertakbir serta mengangkat kepalanya: “Sami’Allahu liman hamidah. Rabbana walakal hamdu”. Kemudian beliau membaca ketika masih dalam keadaan berdiri: “Ya Allah, selamatkanlah Walid bin Walid...”.” (Hadis Riwayat Muslim)

Begitu juga hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah membaca qunut selama satu bulan berturut-turut pada waktu Zuhur, Asar, Maghrib, Isya’, dan solat Subuh di akhir setiap solat setelah mengucapkan “Sami’Allahu liman hamidah. Rabbana walakal hamdu” pada rakaat terakhir untuk mendoakan orang-orang yang masih hidup dari kalangan Bani Sulaim dan mendoakan kebinasaan Ri’lin, Dzakwan, dan Ushaiyah. Makmum di belakang beliau mengaminkan doa beliau.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi Daud)

Jika diperhatikan, qunut yang dilakukan sebelum ruku’ adalah qunut dengan doa yang bersifat umum dan dilakukan di dalam solat witir sebagaimana hadis dari al-Hasan bin Ali, manakala qunut yang dilaksanakan selepas ruku’ adalah qunut yang doanya bersifat khusus bagi mendokan kehancuran pihak musuh dan keselamatan kaum muslimin (qunut Nazilah) yang dilaksanakan di dalam solat fardhu.

Dalam hal ini, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata di dalam Fathul Bari (2/569): “Kesimpulan riwayat dari Anas bin Malik bahawa qunut kerana suatu hajat (doa yang bersifat khusus) dilakukan setelah ruku’. Tidak ada riwayat dari beliau yang menyelisihi hal ini. Adapun yang dilakukan tanpa hajat, menurut dalil sahih, qunut dilakukan sebelum ruku’. Telah diperselisihkan tentang amalan sahabat dalam hal ini. Secara zahirnya bahawa perselisihan ini adalah perselisihan (khilaf) yang bersifat mubah (harus/tidak mengapa). (Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)

Berkenaan Qunut Nazilah ini Sheikh Dr. Sa’id Wahf bin Ali al-Qahthani berkata,

“Telah diriwayatkan dengan sahih dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bahawa beliau melakukan qunut Nazilah selama sebulan, berdoa melaknat satu kaum. Teriwayat dengan sahih bahawa beliau berdoa untuk kaum yang lemah dari kalangan para sahabat beliau yang ditawan oleh satu kaum sewaktu mereka berhijrah. Ketika penyebab beliau melakukan qunut tersebut sudah tidak ada lagi, beliau pun meninggalkannya. Nabi tidak pernah melakukan qunut secara rutin dalam solat wajib yang manapun, solat subuh atau solat yang lainnya. Demikian juga halnya dengan para Khulafa’ur Rasyidin. Mereka melakukan qunut tersebut dengan cara yang sama. Mereka tidak pernah melakukannya secara rutin. Namun jika penyebab qunut itu sudah tidak ada, mereka meninggalkan qunut tersebut. Apa yang sunnahnya (yang tsabit dari sunnah) adalah melakukan qunut Nazilah dan berdoa berdasarkan kepada keadaan, iaitu untuk mendoakan kebaikan bagi suatu kaum, atau untuk melaknat mereka, dan disesuaikan juga dengan bencana yang terjadi.

Diriwayatkan dengan sahih bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan qunut pada solat subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya’. Namun perlaksanaan di dalam solat Subuh dan Maghrib adalah lebih ditekankan. Ketika penyebab qunut itu sudah tidak ada, beliau pun meninggalkannya, termasuk juga pada solat subuh.” (Kumpulan Shalat Sunnah Dan Keutamaannya, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Darul Haq, Cet. Ketujuh – Feruari 2007M, m/s. 75)

Lafaz Doa Qunut Witir

اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، [وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ]، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” (Hadis Riwayat Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim dan al-Baihaqi. Doa yang ada di antara dua kurung, adalah menurut riwayat al-Baihaqi. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah dan Irwa’ul Ghalil)


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.” (Hadis Riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah, dan Irwa’ul Ghalil)


اَللَّهُمَّ إيـَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحَقٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ

“Ya Allah! Kepada-Mu kami menyembah. Untuk-Mu kami melakukan solat dan sujud.Kepada-Mu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut pada siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada-Mu, kami tunduk padaMu dan berpisah pada orang yang kufur kepada-Mu.” (Hadis Riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, sanadnya menurut pendapat al-Baihaqi adalah sahih. Al-Albani menilainya sahih di dalam Irwa’ul Ghalil dengan menyatakan: “Sanadnya sahih dan mauquf pada Umar”)

Tasbih/Doa/Zikir Sesudah salam Solat Witir

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah membaca pada solat witir: “سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى”, “قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ” dan “قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ”. Kemudian sesudah salam, beliau mengucapkan: Subhana al-Malikil Quddus tiga kali.” (Hadis riwayat Abu Daud)

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
(3× يجهر بها ويمد بها صوته يقول)
[رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ]

Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. (Hadis Riwayat an-Nasa’i, ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Kalimat di antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya. Sanadnya sahih, lihat Za’dul Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth)

Diriwayatkan dari Ali bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada akhir Witir mengucapkan:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.” (Hadis Riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah, dan Irwa’ul Ghalil)

Mengqadha Solat Witir

Jika tertidur atau terlupa mengerjakan solat Witir, maka ia boleh dikerjakan ketika bangun atau setelah teringat pada waktu tertentu. Hal ini adalah berdasarkan beberapa hadis,

Hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang tertidur atau terlupa mengerjakan solat Witir, maka hendaklah ia mengerjakannya pada pagi hari atau ketika sebaik saja ia ingat.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadis ini menunjukkan bahawa orang yang tertidur dari Witirnya atau terlupa melakukannya maka hukumnya seperti hukum orang yang tertidur dan terlupa dari solat fardhu. Dalam keadaan seperti ini, ia boleh mengerjakan solat itu ketika bangun atau ketika ia ingat. (Lihat: Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007, oleh al-Imam ash-Shan’ani, jil. 1, m/s. 606)

Hadis dari Umar al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tertidur pada malam hari sehingga luput zikir dan bacaan al-Qur’annya atau sebahagian darinya lalu dia mengerjakannya di antara solat subuh dan solat zuhur, maka ditetapkan baginya seakan-akan dia solat di malam hari.” (Hadis Riwayat Muslim)

Dalam persoalan ini, mereka yang sengaja meninggalkan solat Witir tanpa uzur dan sehingga terbit fajar, maka tidak disyariatkan mengqadha baginya. Ini adalah berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

“... Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika mengerjakan suatu solat, beliau suka untuk mengerjakannya secara terus-menerus (membiasakannya). Jika beliau tertidur atau sakit sehingga tidak dapat bangun malam, beliau akan mengerjakan solat pada siang hari sebanyak dua belas (12) rakaat. Aku tidak mengetahui Nabi Allah pernah membaca al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu malam, tidak juga mengerjakan solat satu malam sehingga subuh, dan tidak juga berpuasa satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan...” (Hadis Riwayat Muslim)

Telah diketahui bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan solat malamnya tidak lebih dari sebelas rakaat,

“Rasulullah tidak pernah menambah solat malam lebih dari sebelas rakaat, sama ada pada bulan Ramadhan atau pun di luar Ramadhan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

“Bahawasanya Rasulullah biasa solat malam sebelas rakaat, beliau menutupnya dengan satu rakaat Witir.” (Hadis Riwayat Muslim)

dan telah diketahui juga bahawa qadha solat Witir pada siang hari dengan jumlah rakaat genap. Barangsiapa yang kebiasaan solat Witirnya pada malam hari satu rakaat, maka qadhanya pada siang hari dua rakaat. Barangsiapa yang kebiasaan witirnya tiga rakaat, maka ia mengqadhanya empat rakaat. Dan demikian seterusnya. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, jil. 2, m/s. 38)

Berkenaan hadis “... Barangsiapa yang menjumpai waktu Subuh tetapi dia belum berwitir, maka tiada witir baginya”, menurut imam ash-Shan’ani,

“Adapun jika yang dimaksudkan adalah tidak boleh mengqadha, maka bukan itu yang dimaksudkannya. Akan tetapi yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah orang yang meninggalkannya secara sengaja. Sesungguhnya ia akan terlewatkan sebuah sunnah yang mulia sehingga ia tidak akan menemukannya.” (Lihat: Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007, oleh al-Imam ash-Shan’ani, jil. 1, m/s. 606)

Rujukan/Maraji:

1 - al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007.

2 - Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, oleh al-Imam ash-Shan’ani, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007.

3 – Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kedua – Januari 2008.

4 – Shahih Fiqih Sunnah, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007.

5 – Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, oleh Sheikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kelima – Februari 2007M.

6 – Kumpulan Shalat Sunnah Dan Keutamaannya, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Darul Haq, Cet. Ketujuh – Feruari 2007M.

Sunday, July 6, 2008

Tsabitkan Penisbahan Kalimah “Sayyidina” Kepada Nabi Di Dalam Selawat?

Dalam hal ini, Sheikh al-Muhaddis Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan:

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah pernah ditanya berkenaan kalimat selawat untuk Nabi yang dibaca dalam solat dan di luar solat, sama ada yang wajib atau pun yang sunnah/sunat:

“Apakah dalam ucapan selawat itu disyari’atkan menggunakan kata-kata Sayyid, seperti orang mengatakan “Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad” atau “’ala sayyidina khalqi” atau “’ala sayyid waladi” atau hanya menggunakan kata-kata “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”. Manakah yang lebih baik daripada ucapan-ucapan itu? Apakah digunakan kata-kata sayyid atau tidak menggunakannya kerana tidak tersebut dalam hadis-hadis.”

Jawab al-Hafiz Ibnu Hajar: “Benar, mengucapkan lafaz-lafaz selawat sebagaimana tersebut dalam riwayat hadis adalah yang benar. Janganlah sehingga ada orang yang mengatakan Nabi tidak menggunakan kata-kata sayyid dalam bacaan selawat hanya disebabkan sikap rendah diri (tawadhu’) sahaja sebagaimana juga tidak layak ketika orang mendengar disebut nama Nabi tidak menyahut dengan ucapan shalallahu ‘alaihi wasallam. Semua orang Islam dianjurkan untuk mengucapkan kata tersebut setiap kali mendengar sebutan nama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya (Ibnu Hajar) menyatakan bahawa sekiranya benar bahawa ucapan sayyid itu ada, niscaya disebutkan dalam riwayat dari sahabat dan tabi’in. Akan tetapi, saya (Ibnu Hajar) tidak menemukan adanya riwayat seperti itu dari seorang sahabat atau tabi’in pun, padahal begitu banyak cara bacaan selawat yang diterima dari mereka. Al-Syafi’i rahimahullah sebagai seorang yang sangat memuliakan Nabi shalallhu ‘alaihi wasallam juga tidak menyebutkan kata sayyidina dalam awal pembukaan (muqaddimah) kitabnya. Padahal al-Syafi’i adalah contoh ikutan para pengikut mazhabnya. Beliau (al-Syafi’i) hanya menyebutkan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad.” (Dinukil dari Kitab Sifat Sholat Nabi, Oleh Sheikh Muhammad Nashidruddin al-Albani, Terbitan Media Hidayah, m/s. 215-216)

Tsabit pula melalui beberapa hadis bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi was Sallam sendiri melarang para sahabatnya yang menisbahkan kalimah “Sayyidina” atas nama dan diri beliau.

Ia adalah sebagaimana hadis berikut,

“Muharrif bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata bahawa ayahnya pernah bersama satu rombongan dari Banu Amir pergi berjumpa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was Sallam. Apabila mereka tiba, mereka berkata kepada Rasulullah: “Anta Sayyidina!” Mereka (Banu Amir) berkata lagi: “Engkau adalah yang paling mulia kemuliaannya, dan yang paling besar keutamaannya.” Rasulullah menjawab: “Berkatalah kamu dengan perkataan kamu itu, akan tetapi janganlah sampai syaitan menjadikan kamu sebagai wakilnya”.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, dinilai sahih oleh Sheikh al-Albani dalam Sahih Sunan Abu Daud, hadis no. 4806. Berkata Ibn Muflih dalam al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, jil. 3, m/s. 455, “Sanadnya baik (jayyid))

Dalam riwayat yang lain, Anas bin Malik r.a. berkata,

“Seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was Sallam seraya berkata: “Ya Muhammad! Ya Sayyidina Ibni Sayyidina! Wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak kepada yang terbaik di kalangan kami!” Rasulullah menjawab: “Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya; dan aku bersumpah kepada Allah bahawasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”.” (Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnadnya, hadis no. 12551, jil. 3, m/s. 153. Sanadnya dinilai sahih oleh Sheikh Syu’aib al-Arnauth dan rakan-rakan. Juga dikeluarkan oleh al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Lail wa al-Yaum dengan sanad yang baik (jayyid) sebagaimana nilai Ibn Muflih dalam al-Furu’, jil. 3, m/s. 568)

Daripada apa yang dipaparkan, ia menjelaskan bahawa Rasulullah s.a.w. sendiri menegah dari menggunakan lafaz Sayyidina ke atas dirinya.

Diringkaskan:

1 - Semua lafaz selawat yang diajarkan oleh Nabi s.a.w. tidak ada satu pun tambahan kalimat sayyidina. (Lihat Fadha’il ash-Sholat wa as-Salam ‘ala Muhammad Khoiril Anam oleh Sheikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah hal. 10-11, dan perkataan semisal oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Bulughul Maram dalam penjelasan hadis Ibnu Mas’ud, 249)

2 – Dalam riwayat-riwayat yang sahih, para Sahabat sendiri yang begitu mencintai Rasullah s.a.w., tidak menggunakan lafaz Sayyidina dalam berselawat.

3 – Para imam mazhab sendiri juga tidak menggunakan lafaz Sayyidina dalam berselawat. Malah, dalam mukaddimah kitab al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, beliau sendiri tidak meletakkan kalimat Sayyidina dalam selawatnya.

Maka, perkataan siapakah yang lebih baik?

Contoh yang ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi was Sallam atau rekaan-rekaan baru dalam agama yang dibuat oleh tangan-tangan manusia?

Seandainya benar kalimah Sayyidina itu bagus, kenapa tidak ditambahkan ke dalam lafaz kalimah Syahadah atau seterusnya ke dalam lafaz azan dan iqamah? Wajarlah kita semua menilaikannya semula. Perlu difahami bahawa lafaz-lafaz zikir dan selawat yang diajarkan nabi berserta dengan fadhilat-fadhilatnya yang tersebut adalah suatu bentuk ibadah yang tauqifiyah (bersifat tetap/baku). Tidak boleh kita menokok tambah dan mereka cipta dengan lafaz-lafaz yang baru selainnya.

Penutup:

Sebagai mengakhiri artikel ini, berikut dibawakan dua contoh selawat yang tsabit dan sahih yang mana jelas tiada tambahan dengan lafaz kalimat “Sayyidina”,


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Se-sungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak dan isteri atau umatnya), sebagai-mana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Se-sungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dalam Fathul Bari, 6/408)


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada keluarga Ibrahim. Beri-lah berkah kepada Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Eng-kau telah memberkahi kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dalam Fathul Bari, 6/407 dan Imam Muslim meriwayatkannya dalam kitabnya, 1/306. Lafazh hadis tersebut menurut riwayat Muslim)

Wallahu a’lam...

Renung-renungkanlah nasihat Mufti Perlis.

Islamik Web Direktori