Insaflah wahai Insan!

Tuesday, September 9, 2008

Detik-detik Sakaratul Maut Rasulullah SAW.

Inilah bukti cinta yang sebenar-benarnya tentang cinta, yang telah dicontohkan Allah SWT melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya.

Rasulullah dengan suara lemah memberikan kutbah terakhirnya, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, al-Qur'an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya.Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua," keluh hati semua sahabat kala itu.

Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.

"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah.

"Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah.

Fatimah menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut telah datang menghampiri. Rasulullah pun menanyakan kenapa Jibril tidak menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril.

Tapi, semua penjelasan Jibril itu tidak membuat Rasul lega, matanya masih penuh kecemasan dan tanda tanya.

"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya Jibril lagi.

"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak, sepeninggalanku?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril meyakinkan.

Detik-detik kian dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan-lahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.

"Jibril, betapa sakitnya, sakaratul maut ini." Perlahan terdengar desisan suara Rasulullah mengaduh.

Fatimah hanya mampu memejamkan matanya. Sementara Ali yang duduk di sampingnya hanya menundukan kepalanya semakin dalam. Jibril pun memalingkan muka.

"Jijikkah engkau melihatku, hingga engkau palingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril sambil terus berpaling.

Sedetik kemudian terdengar Rasulullah memekik kerana sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku," pinta Rasul pada Allah.

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali pun segera mendekatkan telinganya.

"Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii?" Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran kemuliaan itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya. Seperti Allah dan Rasul mencintai kita semua.

Monday, August 18, 2008

Mengumpat Yang Dibolehkan Dalam Islam.

Assalaaualaikum w.b.t.. berikut ini adalah petikan dari kitab Riyadhus Sholihin karangan Imam Nawawi yang menjadi panduan kepada semua umat islam berkenaan dengan mengumpat yang dibenarkan dalam Islam. Sila baca dengan teliti dan fahami baik2. Jazaakumullahu khoirol jazaa’

Ketahuilah bahwasanya mengumpat itu dibolehkan kerana adanya tujuan yang dianggap benar menurut pandangan syara’ Agama Islam, yang tidak akan mungkin dapat sampai kepada tujuan tadi, melainkan dengan cara mengumpat itu. Dalam hal ini adalah enam macam sebab-sebabnya:

Pertama: Dalam mengajukan pengaduan penganiayaan, maka bolehlah seseorang yang merasa dirinya dianiaya apabila mengajukan pengaduan penganiayaan itu kepada sultan, hakim ataupun lain-lainnya dari golongan orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan untuk menolong orang yang dianiaya itu dari orang yang menganiayanya. Orang yang dianiaya tadi bolehlah mengucapkan: “Si Fulan itu menganiaya saya dengan cara demikian.”

Kedua: Dalam meminta pertolongan untuk menghilangkan sesuatu kemungkaran dan mengembalikan orang yang melakukan kemaksiatan kepada jalan yang benar. Orang itu bolehlah mengucapkan kepada orang yang ia harapkan dapat menggunakan kekuasaannya untuk menghilangkan kemungkaran tadi: “Si Fulan itu mengerjakan demikian, maka itu cegahlah ia dari perbuatannya itu,” atau Iain-Iain sebagainya. Maksudnya iaiah untuk dapat sampai guna kelenyapannya kemungkaran tadi. Jadi apabila tidak mempunyai maksud sedemikian, maka pengumpatan itu adalah haram hukumnya.

Ketiga: Dalam meminta fatwa - yakni penerangan keagamaan. Orang yang hendak meminta fatwa itu bolehlah mengucapkan kepada orang yang dapat memberi fatwa yakni mufti: “Saya dianiaya oleh ayahku atau saudaraku atau suamiku atau si Fulan dengan perbuatan demikian, apakah ia berhak berbuat sedemikian itu padaku? Dan bagaimana jalan untuk menyelamatkan diri dari penganiayaannya itu? Bagaimana untuk memperolehi hak ku itu serta bagaimanakah caranya menolak kezalimannya itu?” dan sebagainya.

Pengumpatan semacam ini adalah boleh kerana adanya keperluan. Tetapi yang lebih berhati-hati dan pula lebih utama ialah apabila ia mengucapkan: “Bagaimanakah pendapat anda mengenai seseorang atau manusia atau suami yang berkeadaan sedemikian ini?” Dengan begitu, maka tujuan meminta fatwanya dapat dihasilkan tanpa menentukan atau menyebutkan nama seseorang. Sekalipun demikian, menentukan yakni menyebutkan nama seseorang itu dalam hal ini adalah boleh atau jaiz, sebagaimana yang akan Kami cantumkan dalam Hadisnya Hindun - lihat Hadis no. 1532. Insya Allah Ta’ala.

Keempat: Dalam hal menakut-nakuti kaum Muslimin dari sesuatu keburukan serta menasihati mereka - jangan terjerumus dalam kesesatan kerananya. Yang sedemikian dapat diambil dari beberapa sudut, di antaranya ialah memburukkan kepada para perawi Hadis yang memang buruk ataupun para saksi - dalam sesuatu perkara. Hal ini boleh dilakukan dengan berdasarkan ijma’nya seluruh kaum Muslimin, tetapi bahkan wajib kerana adanya kepentingan. Di antaranya lagi ialah di waktu bermusyawarat untuk mengambil seseorang sebagai menantu, atau hendak berserikat dagang dengannya, atau akan menitipkan sesuatu padanya ataupun hendak bermuamalat dalam perdagangan dan Iain-Iain sebagainya, ataupun hendak mengambil seseorang sebagai tetangga. Orang yang dimintai musyawarahnya itu wajib tidak menyembunyikan hal keadaan orang yang ditanyakan oleh orang yang meminta pertimbangan tadi, tetapi bolehlah ia menyebutkan beberapa cela yang benar-benar ada dalam dirinya orang yang ditanyakan itu dengan tujuan dan niat menasihati. Di antaranya lagi ialah apabila seseorang melihat seorang ahli agama-pandai dalam selok-belok keagamaan -yang mondar-mandir ke tempat orang yang ahli kebid’ahan atau orang fasik yang mengambil ilmu pengetahuan dari orang ahli agama tadi dan dikhuatirkan kalau-kalau orang ahli agama itu terkena bencana dengan pergaulannya bersama kedua macam orang tersebut di atas. Maka orang yang melihatnya itu bolehlah menasihatinya - yakni orang ahli agama itu - tentang hal-ihwal dari orang yang dihubungi itu, dengan syarat benar-benar berniat untuk menasihati.

Persoalan di atas itu seringkali disalah-gunakan dan orang yang berbicara tersebut - yakni orang yang rupanya hendak menasihati -hanyalah kerana didorong oleh kedengkian. Memang syaitan pandai benar mencampur-baurkan pada orang itu akan sesuatu perkara. la menampakkan pada orang tersebut, seolah-olah apa yang dilakukan itu adalah merupakan nasihat-tetapi sebenarnya adalah karena lain tujuan, misalnya kedengkian, iri hati dan sebagainya. Oleh sebab itu hendaklah seseorang itu pandai-pandai meletakkan sesuatu dalam persoalan ini.

Di antaranya lagi misalnya ada seseorang yang sedang mempunyai sesuatu jabatan yang tidak menetapi ketentuan-ketentuan

1528. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya ada sesorang lelaki meminta izin kepada Nabi s.a.w untuk menemuinya, lalu beliau s.a.w bersabda untuk menemuinya, lalu beliau s.a.w bersabda – kepada sahabat-sahabat:”Izinkanlah ia, ia adalah seburuk-buruknya orang dari seluruh keluarganya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam bukhari mengambil keterangan dari Hadis ini akan bolehnya mengumapat pada orang-orang yang suka membuat kerusakan serta ahli bimbang – tidak berpenderian tetap.

1529. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: “ Saya tidak menyakinkan kepada si fulan dan si fulan itu bahwa keduanya itu mengetahui sesuatu perihal agama kita”

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ia berkata:

“Allaits bin Sa’ad, salah seorang yang meriwayatkan hadis ini berkata:”Kedua orang lelaki ini termasuk golongan kaum munafik.

1530. Dari Fathimah binti Qais radhiallahu ‘anha, katanya: “Saya mendatangi Nabi s.a.w. lalu saya berkata: “Sesungguhnya Abuljahm dan Mu’awiyah itu sama-sama melamar diriku.” Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: “Adapun Mu’awiyah itu adalah seorang fakir yang tiada berharta, sedangkan Abuljahm adalah seorang yang tidak sempat meletakkan tongkat dari bahunya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

“Adapun Abuljahm, maka ia adalah seorang yang gemar memukul wanita.” Ini adalah sebagai tafsiran dari riwayat yang menyebutkan bahwa ia tidak sempat meletakkan tongkat dari bahunya. Ada pula yang mengartikan lain ialah bahwa “tidak sempat meletakkan tongkat dari bahunya” itu artinya banyak sekali bepergiannya.

1531. Dari Zaid bin Arqam r.a., katanya: “Kita keluar bersama Rasulullah s.a.w. dalam suatu perjalanan yang menyebabkan orang-orang banyak memperoleh kesukaran, lalu Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah engkau semua memberikan apa-apa kepada orang yang ada di dekat Rasulullah, sehingga mereka pergi - yakni berpisah dari sisi beliau s.a.w. itu.” Selanjutnya ia berkata lagi: “Niscayalah kalau kita sudah kembali ke Madinah, sesungguhnya orang yang berkuasa akan mengusir orang yang rendah.”

Saya lalu mendatangi Rasulullah s.a.w. dan memberitahukan hal ucapannya Abdullah bin Ubay di atas. Beliau s.a.w. menyuruh Abdullah bin Ubay datang padanya, tetapi ia bersungguh-sungguh dalam sumpahnya bahwa ia tidak melakukan itu -yakni tidak berkata sebagaimana di atas. Para sahabat lalu berkata: “Zaid berdusta kepada Rasulullah s.a.w.” Dalam jiwaku terasa amat berat sekali karena ucapan mereka itu, sehingga Allah Ta’ala menurunkan ayat, untuk membenarkan apa yang saya katakan tadi, yaitu - yang artinya: “Jikalau orang-orang munafik itu datang padamu.” (al-Munafiqun: 1)

Nabi s.a.w. lalu memanggil mereka untuk dimintakan pengam-punan - yakni supaya orang-orang yang mengatakan bahwa Zaid berdusta itu dimohonkan pengampunan kepada Allah oleh beliau s.a.w., tetapi orang-orang itu memalingkan kepalanya - yakni enggan untuk dimintakan pengampunan.” (Muttafaq ‘alaih)

1532. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Hindun yaitu isterinya Abu Sufyan berkata kepada Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang lelaki yang kikir, ia tidak memberikan nafkah yang dapat mencukupi kebutuhanku serta untuk keperluan anakku, melainkan dengan cara saya mengambil sesuatu daripadanya, sedang ia tidak mengetahuinya. “Beliau s.a.w. lalu bersabda:” Ambil sajalah yang sekiranya dapat mencukupi kebutuhanmu dan untuk kepentingan anakmu dengan baik-baik - yakni jangan berlebih-lebihan.” (Muttafaq ‘alaih)

——-

* Diharap kita semua dapat membezakan mana mengumpat yang boleh dan mana yang tidak boleh kerana yang penting niat dan cara kita mesti kena pada syarah oleh Imam Nawawi itu. Hanya orang yang busuk hati yang suka mengumpat mengikut sesedap rasa tanpa batasan. Tetapi bukan semua pembukaan hal kebenaran dan agar menjadi pengajaran itu mengumpat yang buruk, wallahu a’lam …….

Monday, August 11, 2008

Hadis Palsu Rejab, Sya'ban.

Petikan artikel dari "http://drmaza.com/home/?p=363"

Agama wajib dipelihara ketulenannya supaya tidak berlaku campur aduk antara rekaan manusia dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Jika agama boleh direka cipta, maka wahyu sudah tentu tidak diperlukan, juga Rasul tidak perlu diutuskan. Oleh itu Islam mengharamkan pembohongan di atas nama agama.

Dalam persoalan hadis, ramai kalangan kita yang begitu tidak berdisiplin dalam memetik hadis-hadis Nabi s.a.w., begitu juga dalam menghuraikannya. Sebahagiannya langsung tidak mengambil berat persoalan kethabitan iaitu kepastian di atas ketulenan sesebuah hadis.

Apa sahaja yang dikatakan hadis terus sahaja dibacakan kepada masyarakat tanpa meneliti takhrij dan tahqiq (keputusan) para ulama hadis terhadap kedudukannya.

Lebih malang ada yang menyangka apa sahaja yang dikatakan hadis maka pastinya sahih dan wajib diimani.

Dengan itu apa sahaja yang mereka temui daripada buku bacaan, yang dikatakan hadis maka mereka terus sandarkan kepada Nabi s.a.w. tanpa usul periksa, sedangkan mereka lupa akan amaran yang diberikan oleh baginda Nabi s.a.w. dalam hadis yang mutawatir:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain).“Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka.” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan selain mereka).

Berbohong menggunakan nama Nabi s.a.w. adalah satu jenayah yang dianggap sangat berat di dalam Islam. Perbohongan atau berdusta menggunakan Nabi s.a.w. adalah menyandar sesuatu perkataan, atau perbuatan, atau pengakuan kepada Nabi s.a.w. secara dusta, yang mana baginda tidak ada kaitan dengannya.

Ini seperti menyebut Nabi s.a.w. bersabda sesuatu yang baginda tidak pernah bersabda, atau berbuat, atau mengakui sesuatu yang baginda tidak pernah melakukannya.

Maka sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi s.a.w. sama ada perkataan, atau perbuatan atau pengakuan, maka ia disebut sebagai al-hadis.

Namun menyandar sesuatu kepada Nabi s.a.w. secara dusta, bukanlah hadis pada hakikatnya. Cuma ia disebut hadis berdasar apa yang didakwa oleh perekanya dan ditambah perkataan al-Maudu’, atau al-Mukhtalaq iaitu palsu, atau rekaan. Maka hadis palsu ialah: “Hadis yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. secara dusta, ia tidak ada hubungan dengan Nabi s.a.w.” (lihat: Nur al-Din Itr, Manhaj al-Nadq fi ‘Ulum al-Hadis, m.s.301, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu‘asarah, Beirut).

Perbuatan ini adalah jenayah memalsu ciptakan agama, kerana Nabi adalah sumber pengambilan agama. Seperti seseorang yang memalsukan pasport di atas nama sesebuah kerajaan. Ia sebenarnya melakukan pembohongan dan jenayah terhadap kerajaan tersebut.

Kedudukan Nabi s.a.w. tentunya lebih besar dan agung untuk dibandingkan. Oleh itu dalam riwayat yang lain Nabi s.a.w. menyebut:

لاَ تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ

“Jangan kamu berdusta ke atasku, sesiapa berdusta ke atasku maka dia masuk neraka.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Kata al-Hafizd Ibn Hajar al-‘Asqalani (meninggal 852H) dalam mengulas hadis ini: “Ia merangkumi setiap pendusta ke atas Nabi s.a.w. dan semua jenis pendustaan ke atas baginda.” Maksudnya: “Jangan kamu sandarkan pendustaan ke atasku (menggunakan namaku)” (rujukan: Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, jld 1, m.s. 270, cetakan: Dar al-Fikr, Beirut).

Bukan sahaja membuat hadis palsu itu haram, bahkan meriwayatkannya tanpa diterang kepada orang yang mendengar bahawa ia adalah hadis palsu juga adalah sesuatu yang haram.

Kata al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H): “Tidak halal kepada sesiapa yang mengetahui ia hadis palsu meriwayatkannya dalam apa bentuk sekalipun, melainkan disertai dengan menerangkan kepalsuannya.” (Ibn al-Salah,‘Ulum al-Hadis, m.s. 98)

Misalnya di tanah air kita, didapati apabila munculnya bulan Rejab dan Syaaban maka hadis-hadis palsu mengenai bulan-bulan tersebut akan dibaca dan diajar secara meluas. Antaranya hadis:

رجب شهر الله، وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي

“Rejab bulan Allah, Syaaban bulanku dan Ramadan bulan umatku.”

Ini adalah hadis palsu yang direka oleh Ibn Jahdam. (lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Sahih wa al-Dha‘if, m.s. 95, cetakan: Maktab al-Matbu‘at al-Islamiyyah, Halab, Syria). Nama penuh Ibn Jahdam ialah Ali bin Abdillah bin Jahdam al-Zahid.

Ibn Jahdam meninggal pada tahun 414H. Beliau adalah seorang guru sufi di Mekah. Dia juga dituduh membuat hadis palsu mengenai solat Raghaib (iaitu solat pada Jumaat pertama bulan Rejab). (lihat: al-Imam al-Zahabi, Mizan al-‘Itidal fi Naqd al-Rijal,. 5, m.s. 173, cetakan: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut).

Sebab itulah al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H) menyebut: Ada beberapa golongan yang membuat hadis palsu, yang paling bahaya ialah puak yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud (golongan sufi).

Mereka ini membuat hadis palsu dengan dakwaan untuk mendapatkan pahala. Maka orang ramai pun menerima pendustaan mereka atas thiqah (kepercayaan) dan kecenderungan kepada mereka.

Kemudian bangkitlah tokoh-tokoh hadis mendedahkan keburukan mereka ini dan menghapuskannya. Alhamdulillah. (Ibn al-Salah, ‘Ulum al-Hadis, m.s. 99)

Golongan penceramah, imam, khatib, dan media massa pula, ada menjadi ejen menyebarkan hadis-hadis palsu mengenai amalan-amalan yang dikatakan disunatkan pada bulan-bulan tersebut.

Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H): Hadis-hadis mengenai solat Raghaib pada Jumaat pertama bulan Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w.

Begitu juga semua hadis mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada malam-malam tertentu adalah dusta ke atas Nabi s.a.w. Demikian juga hadis-hadis mengenai solat pada malam Nisfu Syaaban (kesemuanya adalah palsu).

Solat-solat ini direka selepas empat ratus tahun munculnya Islam (Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, m.s. 95-98).

Sebenarnya hadis sahih mengenai kebaikan malam Nisfu Syaaban itu memang ada, tetapi amalan-amalan tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu.

Hadis yang boleh dipegang dalam masalah Nisfu Syaaban ialah:

يَطَّلِعُ اللهُ إلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمْيْعِ خَلْقِهِ إلاَّ لِمُشْرِكٍ أوْ مُشَاحِنٍ

“Allah melihat kepada hamba-hamba-Nya pada malam Nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain).

Al-Albani mensahihkan hadis ini dalam Silsilah al-Ahadis al-Sahihah. (jilid 3, m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma‘arf, Riyadh).

Hadis ini tidak mengajar kita apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu, amalan-amalan khas tertentu pada malam tersebut bukan dari ajaran Nabi s.a.w.

Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban: “Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Syaaban, membaca doa tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.”

Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid.

Mereka membaca surah Yasin dan solat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca doa yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in). Ia satu doa yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan sunah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya.

Perhimpunan (malam Nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bidaah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas.

Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bidaah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bidaah, dan setiap yang bidaah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka. (Dr. Yusuf al-Qaradawi, fatawa Mu‘asarah jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).

Inilah kenyataan Dr. Yusuf al-Qaradawi, seorang tokoh ulama umat yang sederhana dan dihormati.

Namun dalam masalah ini beliau agak tegas kerana ia bercanggah dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.

Justeru, Hadis-hadis palsu mengenai Rejab dan Syaaban ini hendaklah dihentikan dari disebarkan ke dalam masyarakat. Kita perlu kembali kepada agama yang tulen.

Hasil dari memudah-mudahkan dalam hal seperti ini maka muncullah golongan agama yang suka mendakwa perkara yang bukan-bukan.

Dengan menggunakan nama agama segala rekaan baru dibuat untuk kepentingan diri dan kumpulan. Islam tidak pernah memberi kuasa kepada golongan agama, atau sesiapa sahaja untuk mendakwa apa yang dia suka kemudian menyandarkannya kepada agama.

Agama kita rujukannya ialah al-Quran dan al-sunah yang dipastikan kesabitannya mengikut yang diputuskan oleh para ulama hadis. Kata al-Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah (seorang ulama hadis al-Azhar): “Masih ada para penceramah yang tidak ada ilmu hadis, sama ada ilmu riwayat atau dirayah (mengenai teks hadis).”

Mereka hanya membaca hadis apa yang mereka hafal dan dari tulisan-tulisan tanpa mengetahui kedudukan hadis tersebut.

Apa yang mereka pentingkan hanyalah reda orang ramai. Lalu mereka menyebut perkara yang berlebih-lebih, pelik dan ajaib yang Islam tiada kaitan dengannya.

Mereka ini sepatutnya dihalang dari berceramah, memberi nasihat dan bertazkirah. (Abu Syahbah, al-Wasit fi ‘Ulum wa al-Mustalah al-Hadis m.s. 322, cetakan: Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kaherah).

Saya menyeru diri sendiri, para penceramah, ustaz-ustaz, media elektronik dan cetak, bahkan semua pihak yang membaca sesuatu hadis memastikan kesahihannya dahulu. Semoga Rejab dan Syaaban tahun ini tidak dibaluti dengan pembohongan terhadap Nabi s.a.w.

Tuesday, August 5, 2008

TEORI RAHMAN versi Islam.

Apakah Teori "RAHMAN" ini?

Teori "RAHMAN" mengikut tafsiran orang UMNO adalah Tunku Abd Rahman (R), Tun Abd Razak (A), Datuk Hussein Onn (H), Dr. Mahathir (M), (A) ..masih kosong dan (N) ..tak tahu siapa.

Inilah andaian orang UMNO dan hari ini orang UMNO yang ada huruf "A" atau "N" pada pangkal namanya sedang berangan-angan, kononnya ada harapan akan jadi PM satu hari nanti.

Percayalah, Liang Lahad amat yakin sepenuhnya yang angan-angan mereka ini hanya tinggal angan-angan. Impian tidak akan terlaksana.

Saya pernah berdebat sesama rakan dalam UMNO di PWTC lapan tahun dulu bahawa tafsiran mereka itu salah dan mereka mempertikaikan saya. Mereka ketawa. Mereka mempermainkan saya. Pernah saya katakan kepada mereka "Memang Anwar akan jadi PM tetapi Anwar tidak boleh jadi PM di dalam UMNO kerana landasannya tidak serupa." Mereka terus ketawakan kata-kata saya. Tetapi bermula September 1998 apabila Sdra Anwar Ibrahim dipecat dari jawatan TPM dan Timbalan Presiden UMNO, orang-orang yang sama berdebat itu datang berjumpa saya dan minta saya jelaskan kembali "Teori RAHMAN" menurut pandangan saya. Lalu saya kupaskan kepada mereka satu persatu dengan jelas dan terperinci.

Di artikal yang ringkas ini saya perturunkan tafsiran saya mengenai "Teori RAHMAN" menurut pandangan saya untuk memperkuatkan semangat semua rakan-rakan reformis dan seluruh rakyat Malaysia yang mahu "Tumbangkan kezaliman tegakkan keadilan mempertahankan kebenaran" bahawa kita semakin hampir kepada kejayaan dan kemenangan.

APAKAH TAFSIRAN SAYA? Sila ikuti selanjutnya...

Cara mereka (orang UMNO) mentafsir 'RAHMAN' menggunakan huruf-huruf roman sedangkan 'RAHMAN' adalah bahasa Arab dan merupakan perkataan dalam Al-Quran. Ternyata sudah bahawa orang-orang UMNO ini amat buta dalam agama. Mana bisa satu kalimah Al-Quran bertulisan Arab diterjemah dalam tulisan rumi. Memang manusia di dalam UMNO adalah jenis manusia yang mengabaikan Al-Quran.

"RAHMAN" bukanlah ejaannya R.A.H.M.A.N tetapi di ambil sepenuhnya "AR-RAHMAN". Ia adalah bahasa Al-Quran, kalimah Allah swt maka mestilah ejaan Arabnya ialah "Alif", "Lam", "Ra", "Ha", "Mim", "Nun".

Lihat mana ada huruf "Alif" selepas "Mim". Jadi Abdullah Ahmad Badawi janganlah berangan-angan menjadi Perdana Menteri selepas Mahathir. Kalau pun awak jadi PM hanya seketika, kerana kamu tidak layak kerana "Alif" lain yang lebih layak menurut tafsiran Liang Lahad. Kamu cuma sekadar mengisi "kekosongan" sementara "Alif" lain mempersiapkan diri menjadi PM yang sebenarnya.

Rahman bererti "Pemurah" dan sememangnya negara kita lahir dari sifat Pemurah Allah swt. Kita menikmati kemewahan, kemakmuran, kekayaan, kekuasan adalah disebabkan oleh sifat Rahman Allah swt kepada hambanya.

Huruf-huruf Ar-RAHMAN untuk pemimpin UMNO seperti berikut, "Alif", "Lam" "Ra" adalah untuk dua orang Abd Rahman dan Abd Razak, "Ha" nama Hussein dan "Mim" nama Mahathir. "Nun" tidak ada nama bagi sesiapa pun selepas Mahathir. Kenapa pula? kerana "Nun" ianya bermakna "NAZAK". Iaitu UMNO yang sebelum ini diterajui oleh pemimpinnya sebagai pemerintah negara ini sudah NAZAK. Ia juga membawa makna 'tenat'. Umno menjadi tenat dan kemudiannya UMNO akan "MATI".

UMNO bukanlah seperti yang dislogankan oleh pengikutnya "dulu, kini dan selamanya". Bagi hamba Allah yang memahami Tauhid dan kejadian makhluk maka sudah cukup yakin UMNO adalah bersifat 'baharu' seperti kita juga. UMNO bukan 'qodim'. Setiap yang bersifat baharu sudah pasti ada awal dan ada akhirnya. Kata-kata di dalam sebuah kitab lama "Awal bermulanya kita, TIADA, khudrat Allah swt menjadikan, ADA, tetapi akhirnya TIADA. Kita inilah yang tiada. Maka Allah swt jualah yang ada."

Oleh itu kalimah "UMNO: Dulu, Kini dan Selamanya)" itu adalah sesuatu tanggapan bahawa UMNO bersifat "Qodim" dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mengatakan hanya Allah swt sahaja yang bersifat Qodim. Kalimah slogan UMNO ini sudah cukup menjadikan orang syirikkan Allah swt. Oleh itu apabila kita berjumpa orang-orang UMNO yang mengatakan atau lekatkan sticker "UMNO: Dulu kini dan Selamanya". Yakinlah secara tidak sedar mereka telah mensekutukan Allah swt.

Dosa yang tidak diampunkan oleh Allah swt adalah dosa orang yang mensyirikkanNya.

Oleh kerana UMNO bersifat 'baharu' maka dia pastinya akan musnah. Berbalik kepada teori "rahman" ini iaitu selepas "Mim" maka "Nun" akan menjelma yang membawa maksud NAZAK. Memandangkan keadaan terkini, UMNO hari ini memang nyata UMNO cukup NAZAK. Maka tidak mustahil setiap yang nazak pasti akan mati.

Habis selepas UMNO siapa pula akan ambil alih negara ini?

Ar-Rahman adalah sifat 'Pemurah' Allah swt yang Maha Agong, Maha Kaya, Maha Bijaksana lagi Maha Perencana yang Terbaik. Atas sifat Ar-Rahman inilah maka kita dikurniakan oleh Allah swt dengan rezki yang melimpah, kemakmuran, kekayaan, kesenangan, kesihatan, kejayaan dan lain-lain lagi. Anugerah yang kita terima ini disalurkan oleh Allah swt kerana tiga pemimpin yang terdahulu yang menaburkan benih dan menanam usaha yang murni.

Tunku Abdul Rahman membuat pelantar atau 'tapak usaha' bagi penggantinya memulakan benih-benih kemakmuran dan kejayaan. Kemudiannya Tun Abdul Razak sebagai pengganti mengusahakan benih kejayaan atas nama pembangunan negara. Tanah-tanah baru diteroka dan ditanam dengan berbagai tanaman 'bumi hijau', perut bumi dikaji untuk diketahui isi khazanahnya, laut diselami untuk menggeledah kekayaannya dan berbagai lagi. Impian Tun Razak hanya satu iaitu supaya rakyat mendapat manfaatnya.

Ketika Datuk Hussein Onn mengambil alih teraju negara segala 'benih kejayaan' yang ditinggalkan oleh Tun Razak belum lagi berbuah dengan lebat. Kalau ada pun hasilnya baru sekadar berbunga dan berputik. Hasil dari 'benih kejayaan' yang ditinggalkan oleh Tun Razak tidak sempat dipetik oleh Datuk Hussein Onn kerana dia meletakkan jawatan akibat tekanan Timbalannya.

Ini seumpama nenek yang menanam di dusun durian. Dia dan anaknya tidak sempat memakan dan memetik hasil tetapi sebaliknya cucunya yang akan puas memakan buahnya, menjual berbakul-bakul dan akhirnya hidup bermewah.

Maka begitu jugalah dengan Mahathir. Dia tidak payah berusaha keras. Apabila sahaja dia memegang teraju pemerintahan segala 'benih-benih kejayaan' yang diusahakan oleh Tun Razak telah membuahkan hasil. Mahathir hanya memetik dan membelanjakannya saja. Dia hanya perlu menyediakan lori. Sebab itu di zaman Mahathir, rakyat merasa sedikit kesenangan kerana semua asas kesenangan telah diusahakan oleh Tun Razak dahulu.

Ketika Mahathir mengambil alih kuasa, Felda mengeluarkan kelapa sawit dan getah, Petronas semakin melimpah ditumpahi minyak, anak-anak Melayu sudah pun pandai menulis dan membaca, kelas dewasa telah berjaya membasmi masyarakat buta huruf, mereka yang keluar negara di zaman Tun dan Datuk Hussein mula balik menabur bakti. Ini cukup memudahkan Mahathir mengutip hasil dan bermewah dengan hasil itu.

Inilah sifat Rahman Allah swt yang kasih kepada kita rakyat Malaysia. Oleh itu Mahathir jangan mendabik dada kononnya kejayaan Malaysia hari ini atas usaha dan kegigihannya. Kemewahan Malaysia di zaman Mahathir sebenarnya adalah ditetapkan atas perancangan Allah swt kerana usaha gigih pemimpin yang terdahulu. Allah swt mentakdirkan "Mim" itu adalah MUNAFAAT. Dan MUNAFAAT ini untuk rakyat MALAYSIA kerana Tunku meletakkan Islam agama rasmi Malaysia.

Bermakna "Mim", MUNAFAAT untuk MALAYSIA, majoriti rakyatnya MUSLIM beragam Islam yang menurut sejarah mula bertapak di MELAKA. Sejarah Islam itu berkembang di MADINAH selepas berhijrah dari MEKAH yang dibawa oleh Nabi MUHAMMAD saw. Lihatlah betapa banyaknya huruf "Mim" pada perkataan yang dinyatakan di atas. Inilah betul-betul RAHMAT Allah swt yang mentakdirkan untuk kita. Kejayaan kita bukan kerana Mahathir tetapi kerana adanya RAHMAT Allah swt.

Kita kembali kepada 'Teori Rahman' selepas "Mim" akan berganti oleh "Nun". NAZAK. UMNO menjadi NAZAK selepas Mahathir jatuh atau dijatuhkan. Sudah jelas sekarang pengganti Mahathir bukanlah mampu dibawa oleh orang di dalam UMNO lagi. Kenapa pula?

Teori RAHMAN sudah berakhir selepas Mahathir. Oleh itu siapa pula yang mengambil alih teraju negara? Mari kita kembali kepada perkataan yang teratas sekali di dalam Kitab Suci Al-Quran Nul Karim iaitu "BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM". 'Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani'.

Seperti yang saya nyatakan di artikal saya sebelum ini di laman-laman web pro reformasi bahawa abad ini adalah abab kebangkitan Islam sedunia dan rantau Asia Tenggara. Ini bermaksud abad ini adalah zaman orang MUKMIN mentadbir negara dengan penuh adil dan kasih sayang kerana orang Mukmin sentiasa taat kepada perintah Allah swt dan akan berusaha menjadikan dirinya hamba Allah.

Kasih sayang adalah sifat AR-RAHIM Allah swt seperti yang dilafazkan di hujung kalimah Bismillah...

Kalimah AR-RAHIM bermula dengan huruf "Alif". Ini membawa maksud selepas Teori Rahman iaitu berakhirnya Mahathir, UMNO mati. Nazak dan Noktah "Nun".

AR-RAHIM pula muncul. Rakyat bangun menuntut dilaksanakan "Alif" petama iaitu ISLAH (reformasi). Mereka mahukan kerajaan yang adil yang IHSAN kepada rakyat. Negara yang AMAN pemimpin yang IKHLAS.

Kemudian keseluruhan rakyat mahukan ISLAM ditegakkan kerana ISLAM adalah agama ALLAH bagi orang yang berIMAN.

Cuba lihat betapa banyak "Alif" yang muncul pada maksud kalimah AR-RAHIM ini. Antaranya ialah ISLAH, IHSAN, AMAN, IKHLAS, ISLAM, ALLAH dan IMAN. Inilah tuntutan kehendak rakyat Malaysia kepada pemimpin pengganti selepas Mahathir nanti.

Kalau kita lihat kepada tuntutan-tuntutan ini maka nama seperti Abdullah Badawi tidak mampu memikul apatah lagi melaksanakan tuntutan rakyat ini. Walau pun Abdullah Badawi juga mempunyai "Alif" (jika betul Alif) pada namanya tetapi "Alif" yang dia miliki tidak berupaya membawa kehendak rakyat Malaysia. Itulah sebabnya di awal tadi telah saya nyatakan bahawa Abdullah Badawi kalau pun menjadi pengganti Mahathir tetapi duduknya hanya seketika. Lagipun Abdullah bukan "Alif" mungkin dia "A'in".

Maka kalau Abdullah naik pun dia hanya duduk sementara menunggu "Alif" yang sebenar mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang sebenar-benarnya, yang menjadi pemimpin atas Izin, keHendak dan Redha Allah swt. Abdullah Badawi akan akan duduk sementara kerana dialah yang akan menguruskan pengkebumian UMNO yang kini Nazak.

Jadi kalau bukan Abdullah Badawi maka "Alif" mana pula yang sebenarnya? Mari kita kembali lagi sekali kepada "Bismillahirrahmanirrahim". Berapa "Alif" yang ada dalam kalimah ini? Ada tiga (3) "Alif" bukan?

Kalau ada tiga "Alif" bermakna untuk tiga orang. Orang yang pertama Abdullah Badawi (kalau dia Alif lah: Alif pada namanya masih samar) hanya duduk sementara UMNO dikebumikan. Selepas UMNO dikuburkan oleh Abdullah Badawi maka Abdullah Badawi sendiri akan diturunkan dari kerusi Perdana Menteri. Selepas Abdullah Badawi diturunkan maka "Alif" kedua pula akan naik. "Alif kedua ini juga masih samar antara Alif dan 'Ain. Tapi tidak mengapa kerana dia juga bersifat sementara kerana "Alif" ke 3 iaitu "Alif" yang sebenar-benarnya masih di dalam proses untuk penyempurnaan haq.

Anda tentu bertanya siapakah "Alif" kedua itu? Maka jangan marahkan saya kalau saya katakan "Alif" kedua itu adalah AZIZAH. (Telahan saya berasaskan ejaan jawi Wan Azizah bermula Alif bukan "'Ain" yang dieja ruminya A'zizah).

Azizah juga naik menjadi PM hanya untuk sementara iaitu untuk menunggu selesai proses pilihanraya kecil salah satu kerusi parlimen yang dikosongkan untuk ANWAR IBRAHIM (ada dua "Alif" untuk Anwar dan Ibrahim). Selepas dua "Alif" ini ANWAR IBRAHIM menang mudah pilihanraya kecil parlimen maka berlakulah pertukaran kuasa yang sebenarnya.

"Alif" inilah yang mampu membawa Malaysia ke era yang lebih gemilang yang berteraskan kepada pedoman Al-Quran untuk memberikan kasih sayang (AR-RAHIM) kepada semua rakyat Malaysia yang berbilang kaum atas tuntutan ISLAH, IHSAN, AMAN, IKHLAS, ISLAM, ALLAH dan IMAN. Lihat semuanya "Alif".

Maka itulah ANWAR IBRAHIM merasakan penderitaan, penyiksaan, kezaliman, aib dan maruahnya dijatuhkan sebegitu hebat kerana ketika pelaksanaan Teori AR-RAHMAN semua perkara yang melibatkan kasih sayang (AR-RAHIM) diabaikan oleh Mahathir.

Semuga apabila ANWAR IBRAHIM (dua Alif) menerajukan negara ini nanti, INSYAALLAH, semua yang telah menyimpang jauh dari kasih sayang Ar-Rahim akan diperbetulkan termasuklah dalam semua bidang dan institusi kerajaan yang kini dilacur dan diperkosakan oleh Mahathir.

Betapa institusi ini dilacur dan diperkosa oleh Mahathir, ANWAR IBRAHIM telah melihat sendiri dengan matanya, merasai perit dengan tubuhnya, memegang dengan tangannya, melangkah dengan kakinya, mendengar dengan telinganya, berbicara dengan lidahnya dan menghidu dengan hidungnya. Semuanya ini memerlukan ISLAH yang besar dan saya yakin ANWAR IBRAHIM mampu melaksanakannya di bawah payung BA (Barisan Alternatif). Alif juga.

Tanda-tanda nilai-nilai AR-RAHIM, kasih sayang dan perpaduan antara kaum di negara ini telah berbuah di dalam Barisan Alternatif sekarang. Walaupun UMNO cuba merosakkan nilai kasih sayang ini dengan berbagai cara namun ianya tetap gagal dan akan terus gagal.

Kasih sayang dan perpaduan hanya akan wujud dilaksanakan di dalam Barisan Alternatif (BA). Mereka boleh laksanakan kasih sayang itu kerana mereka bukan berfahaman perkauman. Kalau kita kaji semula, berani saya mengatakan bahawa dalam parti-parti komponen Barisan Alternatif (BA) seperti PAS, keADILan, DAP serta PRM tidak satu pun parti-parti itu berfahaman perkauman. Semua parti-parti ini mempunyai ahli-ahli dari berbagai kaum. Tidak seperti UMNO dengan Melayunya, MCA dengan Cinanya dan MIC dengan Indianya.

Saya berdoa ke hadrat Allah swt dengan berkat kekasihnya Nabi Muhammad saw agar menjadikan negara ini dipimpin oleh seorang manusia yang bersifat insan penuh kasih sayang, taat kepada perintahNya, taqwa pada Allah swt. Pemimpin yang penuh tawaduk, zuhud dan mementingkan kehendak rakyat lebih dari kepentingan dirinya sendiri. Amin.

Sekian saya mengupas Teori Rahman yang sentiasa menjadi bualan dan panduan orang-orang UMNO hingga hari ini.

"KEMBALIKAN HAK KEPADA YANG BERHAK"
"ANWAR IBRAHIM: ADA HAQ PADA PERJUANGAN MU"

Sunday, August 3, 2008

PERTANYAAN KEPADA MEREKA YANG MEMPUNYAI SALAH FAHAM TENTANG BID'AH

Assalamualaikum ahkamerz, kami sajikan pada anda jawapan lengkap terhadap artikel yang ditulis oleh ustaz UIA Kuantan tersebut. Terima kasih kepada sesiapa yang menyumbang kepada artikel jawapan ini. Moga Allah memberikan ganjaranNYA pada anda.Berikut ialah artikel ustaz tersebut;-

Bid’ah menurut jumhur fuqaha’ dari kalangan ahlusunnah wal jamaa’h ditakrifkan sebagai mencipta(mengada ka-adakan atau mereka-reka) sesuatu( amalan syar’i) yang sama sekali tidak ada contohnya pada zaman Rasulullah atau tiada dalilnya dari syara’’’. Bid’ah yg tidak dibenarkan di sisi Islam adalah bid’ah yg berkaitan dgn masalah syar’i dan bukan duniawi.

PERSOALAN:…membaca al-qur’an adalah syar’i…(bukan membukukan…membaca dan membuku adalah satu perkara yg berlainan). Adakah kita sekarang ini membaca bertepatan dengan rasulullah baca? dari segi tajwid dan makhraj hurufnya…apatah lagi yang kena masuk tq 1000 mahupun 2000…sudah semestinya tidak tepat….

PERSOALAN…adakah rasulullah menggunakan mushaf untuk membaca al-quran?…setahu saya baginda menghafal kesemuanya dan tidak pernah menggunakan mushaf kerana pada masa itu mushaf tidak ada lagi…bagi saya dalil yang mengatakan baginda suruh baca quran tgk mushaf..

Kalau adepun pada masa sahabat di zaman usman…tp mushaf takde baris dan titik…dan jumhur ulama’ termasuk ibnu taimiyah melarang sekerasnya meletakkan titik ke dalam mushaf…tetapi kenapa kite pakai mushaf yang bertitik dan berbaris sekarang ini? Bagi saya dalil bahawa baginda suruh bubuh baris dan titik dalam mushaf

PERSOALAN..rasulullah membaca dgn 7 huruf…(ape die 7 huruf..kalau tak paham..gi ngaji byk lagi..jgn nak membid’ah sana dan sini..) Sedangkan kita sekarang ini membaca dgn riwayat hafs b. sulaiman al-kufi (sape plak ni..kalau tak paham jugak..lu pk lah sendiri)yg sudah pastinya baginda tak membaca sebigini sahaja….imam ini tak lahir lagi di zaman baginda…seumpama baginda tak mungkin bermazhab syafie, hambali, maliki mahupun hanafi sbb ke empat2 imam muktabar ini tak lahir lagi zaman baginda….

Bagi saya dalil yg mengatakan baginda suruh baca mengikut riwayat imam ini…

So..kenapa kita membaca al-quran tidak seperti rasulullah…termasuklah hok ngaku salafi…konon-konon mengikut semua skali yg nabi buat…kekadang baca quran pun tak berapa betul…TPT dapat 1000…lidah keras dan liat nak menyebut kalimah ALLAH..tapi menyebut bid’ah..masyaallah..

Berikut ialah respons dari pelajar2 UIA Kuantan yang dibantu ahkamerz:

JAWAPAN KEPADA MEREKA YANG MEMPUNYAI SALAH FAHAM TENTANG BID’AH

Apabila membaca tulisan “Pertanyaan kepada mereka yang mempunyai salah faham tentang bid’ah”. Saya yang da’if merasa terpanggil untuk menjawab artikel tersebut. Tujuan jawapan ini ditulis bukanlah untuk merendah2kan sesiapa atau bersikap biadap. Tapi, sekadar untuk menjelaskan kekeliruan dan keraguan tentang qur’an.

Mungkin penulis artikel tersebut tersilap memahami isu bacaan al-quran, mungkin beliau berniat baik, mungkin beliau ingin menentang aliran ekstrem salafi atau mungkin beliau ingin nyatakan mencegah bid’ah bukanlah priority.

Apapun kemungkinan, saya bersangka baik dengan beliau dan tidak menyalahkan beliau secara total. Memang wujud aliran salafi ekstrem yang taksub dengan syeikh Albani rahimahullah dan juga pada Dr Asri. Namun, manhaj salaf sendiri merupakan manhaj yang mulia. Ia bukan milik kedua tokoh tersebut namun ia milik Allah dan rasulNya. Kita menolak semua jenis ekstrem samada dia salafi, ikhwan muslimin, tariqat dan sebagainya.

Apa yang lebih menakutkan, artikel tersebut mengundangkan beberapa persoalan yang membahayakan iman kita. Contohnya, ada yang mungkin anggap al-quran yang kita baca kini, tak sama dengan apa yang Rasulullah s.a.w baca. Ini akan menimbulkan keraguan terhadap sumber Islam dan boleh membuka kepada kritikan non-Muslim terhadap kitab Allah s.a.w. Saya sedar, penulis artikel tersebut tidak berniat demikian. Apapun, kebenaran lebih saya sayang dari niat penulis artikel tersebut.

InsyaAllah, kita mulakan jawapan terhadap persoalan yang dikemukakan.

KENYATAAN: Bid’ah menurut jumhur fuqaha’ dari kalangan ahlusunnah wal jamaa’h ditakrifkan sebagai mencipta(mengada ka-adakan atau mereka-reka) sesuatu( amalan syar’i) yang sama sekali tidak ada contohnya pada zaman Rasulullah atau tiada dalilnya dari syara’’’. Bid’ah yg tidak dibenarkan di sisi Islam adalah bid’ah yg berkaitan dgn masalah syar’i dan bukan duniawi.

ULASAN: Kenyataan di atas benar cuma perlu diperincikan . Sesetengah ulama’ membahagikan bid’ah kepada hasanah dan dalalah seperti As-Syafie, Izz Abdul Salam, An-Nawawi dan lain2. Namun, mereka bersepakat bahawa tiada bid’ah hasanah dalam ibadah khusus. Ini kerana pemilik syariat hanyalah Allah dan Rasulnya(42:21) dan Islam telah lengkap(5:3). Adapun ibadah2 umum seperti membina sekolah, mengajar ilmu2 quran dengan multimedia dan sebagainya. Ia termasuk ibadah umum dan bukannya bid’ah dhalalah. Untuk ta’rif bid’ah yang tepat, sila rujuk Mauqif ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah min Ahl al-Ahwa wa al-Bida’(jilid 1, ms 90-92) karangan Dr Ibrahim ‘Amir ar-ruhaili. Beliau mengumpulkan semua ta’rif bid’ah dan menyatakan ta’rif Imam As-Syatibi terbaik dalam bab ini

SOALAN:…membaca al-qur’an adalah syar’i…(bukan membukukan…membaca dan membuku adalah satu perkara yg berlainan). Adakah kita sekarang ini membaca bertepatan dengan rasulullah baca? dari segi tajwid dan makhraj hurufnya…apatah lagi yang kena masuk tq 1000 mahupun 2000…sudah semestinya tidak tepat….

JAWAPAN: Sudah menjadi satu hujah yang jelas untuk diketahui bahawa bacaan al-Quran yang kita baca pada hari ini memang berasal dari sunnah. Selagi mana ia bertepatan dengan qiraat yang ma’thur dan bukannya qiraat yang batil maka ia diterima. Untuk mengatakan ia bukan dari Rasullulah s.a,w perlulah dibuktikan. InsyaAllah dalam jawapan seterusnya akan diperincikan.

Hukum tajwid dan makhraj huruf diperlukan untuk membantu bacaan seperti mana ilmu2 yang lain yang diperlukan untuk memahami sesuatu ilmu. Contohnya, ilmu usul-fiqh diperlukan untuk memahami bagaimana mengistinbat hukum dari quran dan sunnah. Jadi apalah salahnya menghadiri kelas tq1000 dan 2000 untuk mempelajari ilmu tajwid. Ia bukanlah bid’ah dhalalah. Ia tidak termasuk sebagai ibadah itu sendiri tapi sekadar membantu kita bagaimana membaca al-quran.

PERSOALAN…adakah rasulullah menggunakan mushaf untuk membaca al-quran?…setahu saya baginda menghafal kesemuanya dan tidak pernah menggunakan mushaf kerana pada masa itu mushaf tidak ada lagi…bagi saya dalil yang mengatakan baginda suruh baca quran tgk mushaf..

Kalau adepun pada masa sahabat di zaman usman…tp mushaf takde baris dan titik…dan jumhur ulama’ termasuk ibnu taimiyah melarang sekerasnya meletakkan titik ke dalam mushaf…tetapi kenapa kite pakai mushaf yang bertitik dan berbaris sekarang ini? Bagi saya dalil bahawa baginda suruh bubuh baris dan titik dalam mushaf…

JAWAPAN: Sesiapa yang mempelajari ilmu hadith sudah tentu mengetahui bahawa takrif sunnah ialah ‘apa yang disandarkan kepada Rasullulah s.a.w dari sudut perkataan, perbuatan dan pengakuan baginda’(sila rujuk mana2 kitab mustalah al-hadith). Jadi, walaupun baginda tidak membaca melalui mushaf, baginda mengakui tindakan sahabat yang membaca dengan mushaf. Terlalu banyak athar yang menunjukkan sahabat membaca al-quran dengan mushaf, antaranya ialah,

(1 a) Dari 'Ikrimah dia berkata : Aku masuk kepada Ibn 'Abbas r.a dan ketika itu dia sedang membaca al-Quran dari mushaf, sebelum dia hilang penglihatannya dan dia sedang menangis. Aku berkata : Apakah yang membuatkan engkau menangis... (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak. Beliau berkata : Sanad hadis ini sahih dan dipersetujui oleh al-Zahabi, 2/532)

(Db)Dari Ummu Salamah al-Azdiyah r.a dia berkata : Aku melihat 'Aisyah membaca al-Quran dari mushaf dan jika dia melalui ayat sajdah maka dia akan sujud. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, 2/326)

(3 c) Hamba Aisyah r.a, Zakuan mengimamkannya dalam solat dan membaca al-Quran dari mushaf dalam solat. ( Diriwayatkan al-Bukhari dalam Sahihnya, 1/245)

(4 d) Pengislaman Umar r.a setelah membaca mushaf Al-Quran yang ada pada tangan adik perempuannya.

Cukuplah dalil di atas menunjukkan Rasullulah s.a.w membenarkan sahabat membaca al-Quran dari mushafnya. Ini bukanlah bid’ah tapi sunnah. Walaupun sahabat buat perkara yang tidak dilakukan Rasullullah s.a.w, Rasullulah s.a.w menjustifikasikannya sekaligus menjadikan ia sunnah. Berbeza dengan zaman kita, bila mana amalan2 ibadah khusus baru direka maka tiada siapa yang dapat menjustifikasikannya sebagai sunnah. Tambahan, banyak dalil menunjukkan sahabat buat benda yang Rasulullah s.a.w tak buat tapi dijustikasikan oleh baginda. Contoh paling mudah, Khalid r.a makan biawak dabh namun baginda tidak mengharamkannya walaupun baginda sendiri tidak memakannya.

Tambahan, Rasullulah s.a.w sendiri tidak membaca dengan mushaf kerana Allah mentaqdirkan baginda sebagai ummi. Ini untuk menutup mulut2 pengkritik Islam agar mereka tahu bahawa al-Quran tidak ditulis oleh baginda.

Satu lagi hujah yang jelas, antara faedah Rasullulah s.a.w menyuruh sahabat menulis al-Quran sudah tentu untuk membacanya. Bahkan sebuah hadith sahih menyebutkan pembaca al-Quran akan mendapat syafaat dari apa yang dibacanya di hari akhirat nanti.

Isu baris dan titik perlulah diketahui dengan jelas. Ia termasuk dalam masalih al-mursalah. Masalih mursalah ialah tambahan dalam agama yang tidak bertujuan untuk beribadat dengannya(boleh diertikan sebagai bid’ah hasanah). Bid’ah pulak tambahan dalam agama dengan bertujuan berlebih2an dalam ibadah. Setengah pendapat mengatakan penambahan berlaku pada zaman Ali r.a dimana beliau memerintahkan abu aswad ad-duali(69H),Nasr Ibn Ashim(89H) dan Yahya Ibn Ya’mur(129H) untuk meletakkan baris dan titik. Ini untuk memudahkan pembacaan al-Quran. Ia tidakpun menambah jumlah surah ataupun kandungan al-Quran.

Penambahan baris dan titik bukanlah bid’ah kerana tujuannya ialah membantu umat Islam untuk membaca al-Quran. Kalau seorang yang mampu membaca al-Quran dengan betul, tanpa memerlukan titik dan baris maka tak salah dia baca al-Quran yang asli seperti yang terdapat di muzium Topkapi.

Seperkara lagi, agak diragukan bagaimana ulama2 hebat seperti Syaikhul al-Islam Ibn Taimiyah dan lain2 ulama2 melarang keras sedangkan ada pendapat yang mengatakan ia berlaku pada zaman sahabat lagi. Lagipun, sejak zaman sahabat lagi, Islam berkembang luas ke pelusuk dunia dan bertambah ramai orang bukan arab yang memeluk Islam. Sudah tentu banyak Muslim ketika itu tidak menguasai bahasa arab dengan baik. Bagaimana mereka nak baca al-Quran dengan tanpa baris?

Kita sedia tahu terlalu banyak fitnah dikenakan terhadap Ibn Taimiyah r.a. Maka kita menuntut dalil untuk menjustifikasikan hujah di atas. Kesimpulan hujah di atas, penambahan titik dan baris bukanlah suatu ibadah khusus. Jika ia bukan ibadah khusus maka ia tidak perlu dalil untuk mensyariatkannya.



PERSOALAN..rasulullah membaca dgn 7 huruf…(ape die 7 huruf..kalau tak paham..gi ngaji byk lagi..jgn nak membid’ah sana dan sini..) Sedangkan kita sekarang ini membaca dgn riwayat hafs b. sulaiman al-kufi (sape plak ni..kalau tak paham jugak..lu pk lah sendiri)yg sudah pastinya baginda tak membaca sebigini sahaja….imam ini tak lahir lagi di zaman baginda…seumpama baginda tak mungkin bermazhab syafie, hambali, maliki mahupun hanafi sbb ke empat2 imam muktabar ini tak lahir lagi zaman baginda….

Bagi saya dalil yg mengatakan baginda suruh baca mengikut riwayat imam ini…

So..kenapa kita membaca al-quran tidak seperti rasulullah…termasuklah hok ngaku salafi…konon-konon mengikut semua skali yg nabi buat…kekadang baca quran pun tak berapa betul…TPT dapat 1000…lidah keras dan liat nak menyebut kalimah ALLAH..tapi menyebut bid’ah..masyaallah..

JAWAPAN: Memang benar telah tsabit dari hadith yang sahih bahawa Rasullulah s.a.w membaca al-Quran dengan tujuh huruf. Ini memudahkan pelbagai suku-suku arab menyebut sebutan al-Quran mengikut lahjah mereka. Namun, sebutan al-Quran yang berbeza ini bersumberkan dari Rasullulah s.a.w. Terdapat beberapa qiraat yang mashyur seperti hafs, wash, warsh and sebagainya Antara riwayat yang sahih ialah riwayat Hafs bin Sulaiman al-Kufi. Beliau merupakan imam qiraat yang mashyur. Qiraat beliau juga dikenali sebagai qiraat al-‘ammah.

Qiraat Hafs menjadi yang mashyur sehingga digunakan di banyak negara Islam. Imam Hafs itu sendiri merupakan antara jaguh dalam ilmu qiraat maka sebab itulah qiraat beliau menjadi pilihan. Bahkan beliau menukilkan qiraat yang banyak diguna pakai sahabat. Namun, kita setuju bukan sesuatu wajib untuk mengatakan hanya qiraat beliau yang diterima. Sesiapa yang mampu membaca lebih satu qiraat maka ia digalakkan. Ia bukan bid’ah. Namun, bagi sesiapa yang tidak mampu menguasai banyak qiraat maka cukuplah dengan satu qiraat.

Dalilnya ialah hadith yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab r.a,

“Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqan tidak seperti yang aku baca dan yang Rasulullah saw. ajarkan kepadaku. Hampir saja aku menyalahkannya ketika ia sedang membaca, tetapi aku biarkan saja sampai ia selesai. Setelah selesai, aku pegang dengan kuat serban yang berada di lehernya dan aku bawa ia menghadap Rasulullah saw. Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan tidak seperti yang baginda ajarkan kepadaku. Rasulullah saw. bersabda: Suruh ia untuk membacanya. Ia (Hisyam) pun membaca bacaan yang sebelumnya aku dengar sebelumnya. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Seperti itulah surat itu diturunkan. Kemudian beliau menyuruhku: Bacalah. Aku pun membacanya. Lalu beliau bersabda: Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Alquran itu diturunkan atas tujuh dialek. Maka bacalah dengan bacaan yang mudah di antaranya”.(riwayat Malik dalam al-Muwatta’)

Jelas dari dalil diatas, kita boleh mengikut mana2 bacaan al-Quran yang mudah bagi kita. Di Malaysia, bacaan imam al-Hafs merupakan yang mudah. Maka, mengikutinya bukanlah bid’ah.

Untuk mengatakan bacaan Imam Hafs tidak seperti bacaan Rasulullah s.a.w sama sekali tidak tepat. Berikut dikemukakan sanad imam Hafs Qiraat .

Imam Hafs bin Sulaiman al-Kufi bersumberkan dari Rasullullah s.a.w. Beliau mengambil bacaannya dari A’sim bin Abi An-Najud al-Kufi At-Tabi’e yang mengambil bacaannya dari Abi Abdurrahman Abdullah As-sulami yang mengambil bacaannya dari Uthman bin Affan r.a, Ali r.a, Zaid r.a, Ubai r.a yang mengambil bacaan mereka dari Rasullulah s.aw(Rujuk muka surat belakang al-Quran).

Sudah jelas bahawa qiraat Hafs bersumberkan dari Rasullulah s.a.w. Sepakat ulama mufassirin dan qiraat. Sayangnya, penulis artikel tersilap memahami isu ini. Moga Allah memberikan hidayah padanya.

Memang imam Hafs tidak lahir pada zaman Baginda. Namun beliau telah mengemukakan sanad yang sahih untuk membuktikan qiraatnya. Ia telah disepakati oleh jumhur ulama mufassirin dan imam mazhab. Itulah peranan ulama untuk menjelaskan tentang Islam. Seseorang yang berbakti pada Islam, tidak semestinya hanya perlu hidup zaman Rasullulah. Cukuplah bagi dia untuk membuktikan ajarannya bersumberkan dari baginda.

Begitu juga peranan imam2 mazhab sebagai penyuluh kepada Islam. Pegangan mereka sama dengan kita iaitu al-Quran dan As-sunnah.Mereka tidak perlu hidup zaman Rasullulah s.a.w untuk membuktikan kebenaran mazhab mereka. Ini kerana mereka telah mengemukakan hujah agama dalam kitab2 mereka dalam bentuk dalil. Maka kita mengikuti mereka selagi mana pendapat mereka tidak bercanggah dengan al-quran dan as-sunnah.Contohnya, Malaysia mengikut mazhab As-Syafie. Kita berpegang padanya selagi mana pendapat Imam Syafie dan jumhur syafieyah tidak bercanggah dengan dalil sahih. Dalam erti lain, kita menolak ekstrem mazhab.

Sepatutnya kita menyokong usaha muslim yang ingin memperbaiki bacaan mereka bukan mengherdik mereka. Ia lebih baik dari mereka yang tidak tahu langsung tentang quran dan tak ingin membacanya.

Kesimpulan jawapan diatas ialah:

1) Bersetuju dengan ta’rifan bid’ah yang dikemukan penulis artikel tersebut tapi perlulah dijelaskan dengan lebih jelas

2) Hukum tajwid dan makhraj ialah wasilah kepada bacaan al-Quran yang tepat. Ia bukan bid’ah dhalalah

3) Ta’rifan sunnah meliputi pengakuan baginda Rasullulah .s.aw. Perbuatan membaca al-Quran dari mushaf bukanlah bid’ah sebab Rasulullah s.a.w sendiri menyuruh sahabat menulis al-Quran dan membenarkan mereka membaca daripadanya

4) Baris dan titik bukanlah bid’ah tetapi ia masalih mursalah dimana penggunaanya diperlukan oleh umat Islam bagi membaca al-Quran. Ia wujud sejak zaman sahabat

5) Membaca dan mengkhususkan diri dengan hanya satu qiraat bukanlah suatu yang bid’ah selagi mana kita tidak beranggapan ia wajib. Bacalah apa yang mudah bagi kita.

6) Al-quran yang kita baca hari ini, memang berasal dari Baginda Rasullulah s.a.w

Penulis artikel ““Pertanyaan kepada mereka yang mempunyai salah faham tentang bid’ah” yang dikasihi, bertaubatlah pada Allah atas kesilapan yang anda lakukan. Sekiranya anda ikhlas, janganlah dicabut artikel ini dari tempatnya. Kalau ingin dicabut, maka cabutlah artikel anda dahulu. Kebenaran memang pahit ditelan. Apapun, ia lebih baik dari meletakkan tuduhan al-Quran yang dibaca kini tidak sama dengan bacaan Baginda s.a.w.

Sekiranya anda ingin menjawab balas artikel ini, maka diharapkan anda:

1) Buktikan qiraat yang kita baca hari ini tidak sama dengan apa yang di ajar oleh baginda kepada sahabat. Pembuktian mestilah ilmiah dan bukan emosi

2) Sila bawakan dalil yang melarang penggunaan hanya qiraat Hafs. Saya dah buktikan kita boleh mengkhususkan diri hanya untuk membaca qiraat Hafs sekiranya itu bacaan yang mudah bagi kita. Saya juga tidak menolak sesiapa yang mampu membaca lebih dari satu qiraat

3) Buktikan pernyataan jumhur ulama yang mengharamkan penggunaan baris dan titik. Sekadar pengetahuan saya, hanya Ibn Umar yang tidak berkenan dengan penambahan titik. Disebutkan di Wikipedia, penduduk Madinah telahpun menggunakan titik merah untuk tanwin, tashdid, takhfif, sukun, wasl dan madd. Mereka juga menggunakan titik kuning untuk hamzah.

Sekiranya hujah2 di atas dapat dijawab dengan ilmiah dan jelas, maka insyaAllah saya boleh menerima bacaan al-Quran yang kita baca hari ini bid’ah. Dalam erti kata lain, tak sama dengan bacaan Rasullulah s.a.w dan para sahabat.

Sekiranya juga penulis artikel tersebut ingin menjawab artikel ini. Ia mungkin tidak lari daripada;

1) Menjawab dengan penuh emosi dan benci

2) Mewujudkan fault finding atau menuduh saya tidak ilmiah( saya memang menulis artikel ini secara ringkas bagi memudahkan pembacaan).

3) Menuduh saya salafi ekstrem atau pengikut Syeikh Albani ataupun Dr Asri.

4) Bersikap biadap kerana tidak berjumpa dahulu dengan penulis artikel tersebut untuk berbincang.

Jika penulis artikel tersebut tidak menjawab artikel ini, dan menerima hujah2 kebenaran yang dikemukakan. Saya pohon agar Allah mengampunkan kesalahan saya dan dia. Saya mengambil keputusan untuk menjawab artikel ini dan tidak untuk berjumpa dengan dia kerana

1) Dikhuatiri perbincangan diakhiri dengan debat yang tidak menguntungkan kedua2 pihak

2) Untuk mengelakkan permusuhan dan perbalahan

3) Saya diberitahu penulis artikel tersebut sangat memusuhi aliran salafi. Maka dikhuatiri ada ‘mental block’ sebelum berlaku perbincangan islami.

4) Mungkin ramai insan yang terpengaruh dengan tulisan tersebut. Maka jawapan ini bukanlah untuk penulis artikel tersebut sahaja, tapi untuk semua pembaca.

Akhir kalam, saya pohon kemaafan kepada penulis tersebut sekiranya tulisan ini mengguris hati beliau. Selaku ustaz yang mengajar tilawah, tak mustahil untuk beliau terkeliru atau tersilap. Kita insan yang lemah. Memang sentiasa melakukan kesilapan. Apapun taubatlah ubat bagi kesilapan. Saya sangat yakin penulis artikel tersebut bukanlah seorang yang ego untuk menerima kebenaran.

Kita sedar manhaj salaf yang melanda negara membawa impak yang baik. Kita mungkin tidak bersetuju dengannya. Ini bukanlah masa untuk membincangkan pro and kontra manhaj salaf. Tapi, janganlah kebencian kita kepada sesuatu yang kita tidak jelas padanya menyebabkan kita jatuh dalam dosa.

Moga2 artikel jawapan ini membersihkan salah faham terhadap al-Quran. Diharapkan ia tidak akan dialihkan pada tempatnya. Jika dialihkan, moga2 artikel penulis tersebut juga dialihkan. Jika tidak, saya serahkan kepada Allah s.w.t. Allah maha Adil, Dia akan menghukum seorang berdasarkan perbuatannya. Kita akan berjumpa dengan Allah s.w.t, pada masa itu dan jalan al-Quran dan As-Sunnah dengan tafsiran para sahabat nabi lah yang akan jadi hujah. Wassalam

Tambahan: Artikel ini telah ditampal bersebelahan dengan artikel tersebut.

Friday, August 1, 2008

Thursday, July 31, 2008

Hukum bertepuk tangan.

Pertanyaan: Apa hukum bertepuk tangan bagi laki-laki pada momen tertentu dan pertemuan-pertemuan?

Jawab:
Bertepuk tangan dalam pertemuan-pertemuan merupakan perbuatan jahiliah. Pendapat yang paling ringan menyatakan hukumnya makruh. Dan yang lebih nyata dari dalil-dalil yang ada adalah bahwa hal itu haram, karena kaum muslimin dilarang menyerupai orang-orang kafir. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyebutkan sifat orang kafir penduduk Makkah:
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (Al-Anfal: 35)
Para ulama berkata: الْـمُكَاءُ adalah siulan sedangkan التَّصْدِيَةُ adalah tepuk tangan. Dan yang sunnah bagi seorang mukmin ketika melihat atau mendengar sesuatu yang mengagumkan atau yang dia ingkari adalah mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah) atau Allahu Akbar (Allah Maha Besar), sebagaimana hal ini shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits.
Dan disyariatkan tepuk tangan khusus bagi wanita ketika mereka mengingatkan sesuatu dalam shalat, atau ketika mereka shalat bersama laki-laki dan imamnya lupa. Ketika itu disyariatkan bagi wanita untuk mengingatkan dengan tepukan tangan. Adapun laki-laki mengingatkan imam dengan tasbih (ucapan Subhanallah) sebagaimana hal ini shahih dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sini diketahui bahwa tepuk tangan bagi lelaki adalah perbuatan menyerupai orang kafir dan wanita. Keduanya merupakan hal yang dilarang bagi kaum lelaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang memberi taufiq.
(Disebarkan dalam Fatawa beliau pada kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr yang beliau keluarkan dalam majalah bulanan Al-Arabiyyah, diambil dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6)

Hukum Berdiri Untuk Menyambut

Pertanyaan: Seseorang masuk dalam keadaan saya di suatu majelis. Para hadirin kemudian berdiri, namun saya tidak berdiri. Haruskah saya berdiri? Apakah orang yang berdiri berdosa?

Jawab:
Anda tidak harus berdiri menyambut orang yang datang. Namun hal ini termasuk akhlak yang mulia. Barangsiapa yang berdiri untuk menjabat tangannya dan menuntunnya –terlebih lagi tuan rumah dan para pemuka– maka ini merupakan akhlak yang mulia. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiyallahu ‘anha (putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red), demikian juga Fathimah radhiyallahu ‘anha berdiri menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para shahabat berdiri atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyambut Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika dia datang untuk menghukumi Bani Quraizhah. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu datang pada peristiwa diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat kepadanya kemudian duduk.
Ini merupakan akhlak yang mulia, dan perkaranya lapang. Yang dingkari adalah berdiri untuk mengagungkan. Adapun berdiri untuk menyambut tamu yang datang dalam rangka memuliakannya, menjabat tangannya, atau memberi salam hormat, ini merupakan perkara yang disyariatkan. Adapun dia berdiri untuk mengagungkan sedangkan yang lain duduk, atau dia berdiri ketika ada yang masuk tanpa menyambut atau menjabat tangannya, ini tidak pantas. Yang lebih keras (pelarangannya) adalah berdiri untuk mengagungkannya dalam keadaan (yang diagungkan itu) duduk, bukan untuk menjaga tapi semata untuk mengagungkan.
Berdiri ada tiga macam:
Pertama: berdiri terhadap seseorang dalam keadaan orang itu duduk, seperti orang-orang ajam (non Arab) mengagungkan raja dan pembesar mereka. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana diterangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk duduk ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat sambil duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk. Ketika mereka berdiri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hampir-hampir kalian mengagungkan aku sebagaimana orang-orang ajam mengagungkan pembesar mereka.”
Kedua: berdiri untuk kedatangan atau kepergian seseorang, tanpa menyambut atau menjabat tangannya, namun semata-mata untuk mengagungkannya. Hal ini minimalnya makruh. Dahulu para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak berdiri untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masuk kepada mereka, ketika mereka mengetahui ketidaksukaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal itu.
Ketiga: berdiri untuk orang yang datang untuk menjabat tangannya atau menuntunnya untuk menempatkannya pada tempat tertentu, atau mendudukkannya pada tempatnya, atau yang serupa dengan itu. Hal ini tidak mengapa, bahkan termasuk Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red) sebagaimana telah lalu.
(Dimuat dalam majalah Al-Arabiyyah dalam kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr, dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6)

Jauhi sifat sangka buruk dan fitnah.

Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3/191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan) karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya. “Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.” (HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat, atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dari mayoritas ulama dengan menukilkan dari Al-Mahdawi, bahwa zhan yang buruk terhadap orang yang zahirnya baik tidak dibolehkan. Sebaliknya, tidak berdosa berzhan yang jelek kepada orang yang zahirnya jelek. (Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, 16/218)
Karenanya, Ibnu Hubairah Al-Wazir Al-Hanbali berkata, “Demi Allah, tidak halal berbaik sangka kepada orang yang menolak kebenaran, tidak pula kepada orang yang menyelisihi syariat.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/70)
Dari hadits:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini, “Zhan yang diharamkan adalah zhan yang terus menetap pada diri seseorang, terus mendiami hatinya, bukan zhan yang sekadar terbetik di hati lalu hilang tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia tidak mengucapkannya atau ia bersengaja1.” (Al-Minhaj, 16/335)
Sufyan rahimahullahu berkata, “Zhan yang mendatangkan dosa adalah bila seseorang berzhan dan ia membicarakannya. Bila ia diam/menyimpannya dan tidak membicarakannya maka ia tidak berdosa.”
Dimungkinkan pula, kata Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu, bahwa zhan yang dilarang adalah zhan yang murni /tidak beralasan, tidak dibangun di atas asas dan tidak didukung dengan bukti. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 8/28)
Kepada seorang muslim yang secara zahir baik agamanya serta menjaga kehormatannya, tidaklah pantas kita berzhan buruk. Bila sampai pada kita berita yang “miring” tentangnya maka tidak ada yang sepantasnya kita lakukan kecuali tetap berbaik sangka kepadanya. Karena itu, tatkala terjadi peristiwa Ifk di masa Nubuwwah, di mana orang-orang munafik menyebarkan fitnah berupa berita dusta bahwa istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, shalihah, dan thahirah (suci dari perbuatan nista) Aisyah radhiyallahu ‘anha berzina, wal’iyadzubillah, dengan sahabat yang mulia Shafwan ibnu Mu’aththal radhiyallahu ‘anhu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar tetap berprasangka baik dan tidak ikut-ikutan dengan munafikin menyebarkan kedustaan tersebut. Dalam Tanzil-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang nyata’.” (An-Nur: 12)
Dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang Badui yang takut berperang ketika mereka diajak untuk keluar bersama pasukan mujahidin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Badui ini dihinggapi dengan zhan yang jelek.
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ اْلأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا. بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan, ‘Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.’ Mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Katakanlah, “Maka siapakah gerangan yang dapat menghalangi-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudaratan bagi kalian atau jika Dia menghendaki manfaat bagi kalian. Bahkan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman sekali-kali tidak akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan setan telah menjadikan kalian memandang baik dalam hati kalian persangkaan tersebut. Dan kalian telah menyangka dengan sangkaan yang buruk, kalian pun menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 11-12)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lafadz hadits yang dimaksud adalah:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di jiwa mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)

Akhir kehidupan yang menghinakan.

Ajaran Ahmadiyah banyak mendapat penentangan dari para ulama di India. Di antara ulama yang terdepan menentangnya adalah Asy-Syaikh Tsana`ullah Al-Amru Tasri. Karena geram, Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan pernyataan pada tanggal 15 April 1907 yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Tsana`ullah. Di antara bunyinya:
“…Engkau selalu menyebutku di majalahmu (‘Ahlu Hadits’) ini sebagai orang terlaknat, pendusta, pembohong, perusak… Maka aku banyak tersakiti olehmu… Maka aku berdoa, jika aku memang pendusta dan pembohong sebagaimana engkau sebutkan tentang aku di majalahmu, maka aku akan binasa di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.
Aku umumkan bahwa jika engkau tidak mati semasa aku hidup dengan hukuman Allah yang tidak terjadi kecuali benar-benar dari Allah seperti mati dengan sakit tha’un, atau kolera berarti AKU BUKAN RASUL DARI ALLAH…
Aku berdoa kepada Allah, wahai penolongku Yang Maha Melihat, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, Yang mengetahui rahasia qalbu, bila aku ini adalah pendusta dan perusak dalam pandangan-Mu dan aku berdusta atas diri-Mu malam dan siang hari, ya Allah, maka matikan aku di masa hidup Ustadz Tsana`ullah. Bahagiakan jamaahnya dengan kematianku –Amin–.
Wahai Allah, jika aku benar dan Tsana`ullah di atas kesalahan serta berdusta dalam tuduhannya terhadapku, maka matikan dia di masa hidupku dengan penyakit-penyakit yang membinasakan seperti tha’un dan kolera atau penyakit-penyakit selainnya….
Akhirnya, aku berharap dari Ustadz Tsana`ullah untuk menyebarkan pernyataan ini di majalahnya. Kemudian berilah catatan kaki sekehendaknya. Keputusannya sekarang di tangan Allah.
Penulis, hamba Allah Ash-Shamad, Ghulam Ahmad, Al-Masih Al-Mau’ud. Semoga Allah memberinya afiat dan bantuan. (Tabligh Risalat juz 10 hal. 120)
Apa yang terjadi? Setelah berlalu 13 bulan 10 hari dari waktu itu, justru Ghulam Ahmad yang diserang ajal. Doanya menimpa dirinya sendiri.
Putranya Basyir Ahmad menceritakan: Ibuku mengabarkan kepadaku bahwa Hadrat (Ghulam Ahmad) butuh ke WC langsung setelah makan, lalu tidur sejenak. Setelah itu butuh ke WC lagi. Maka dia pergi ke sana 2 atau 3 kali tanpa memberitahu aku. Kemudian dia bangunkan aku, maka aku melihatnya lemah sekali dan tidak mampu untuk pergi ke ranjangnya. Oleh karenanya, dia duduk di tempat tidurku. Mulailah aku mengusapnya dan memijatnya. Tak lama kemudian, ia butuh ke WC lagi. Tetapi sekarang ia tidak dapat pergi ke WC, karena itu dia buang hajat di sisi tempat tidur dan ia berbaring sejenak setelah buang hajat. Kelemahan sudah mencapai puncaknya, tapi masih saja hendak buang air besar. Diapun buang hajatnya, lalu dia muntah. Setelah muntah, dia terlentang di atas punggungnya, dan kepalanya menimpa kayu dipan, maka berubahlah keadaannya.” (Siratul Mahdi hal. 109 karya Basyir Ahmad)
Mertuanya juga menerangkan: “Malam ketika sakitnya Hadhrat (Ghulam Ahmad), aku tidur di kamarku. Ketika sakitnya semakin parah, mereka membangunkan aku dan aku melihat rasa sakit yang dia derita. Dia katakan kepadaku, ‘Aku terkena kolera.’ Kemudian tidak bicara lagi setelah itu dengan kata yang jelas, sampai mati pada hari berikutnya setelah jam 10 pagi.” (Hayat Nashir Rahim Ghulam Al-Qadiyani hal. 14)
Pada akhirnya dia mati tanggal 26 Mei 1908.
Sementara Asy-Syaikh Tsana`ullah tetap hidup setelah kematiannya selama hampir 40 tahun. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala singkap tabir kepalsuannya dengan akhir kehidupan yang menghinakan, sebagaimana dia sendiri memohonkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kini siapa yang sadar dan bertobat setelah tersingkap kedustaannya?
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tuesday, July 29, 2008

Lalat lebih mengetahui.

Jika anda prihatin sila sebarkan maklumat ini terutamanya bagi orang Islam. (Ini adalah maklumat penting yang perlu disebarkan khususnya pada semua umat Islam.) Tidak dapat dinafikan bahawa sebahagian besar ikan-ikan yang Kita makan setiap Hari adalah diimport dari negara Thai. Setelah ditangkap oleh perusahan para nelayan di sana ,ikan-ikan itu dimasukan ke dalam kontena Dan ditimbus dengan ketulan-ketulan air batu supaya ianya boleh bertahan lama sepanjang perjalanan ke Malaysia & Singapura. Perjalanan biasanya mengambil masa selama 6 atau 7 jam.... Dan masa itu Ikan-ikan tersebut tiba di Malaysia Dan Singapura dengan keadaan lesu Dan kurang segar. Untuk mengelakkan berlakunya perkara ini... Pihak pengusaha perikanan di negara Thai kini menggunakan teknik baru.Tahu kah anda semua.. Teknik baru yang digunakan itu? Sebelum dieksport.. Semua ikan-ikan direndam dulu di dalam air yang dicampur dengan kimia bernama FOMILIN. Ini adala bertujuan supaya ikan-ikan yang dieksport itu boleh bertahan jauh lebih lama Dan kelihatan masih 'fresh', keras Dan segar bila sampai ke distinasinya. Tahu kah anda semua... Apa itu kimia bernama FOMILIN? FOMILIN merupakan sejenis kimia yang disuntik ke dalam mayat supaya ianya boleh bertahan lama. Bahasa omputih 'embalm'.Mayat-mayat insan Islam diharamkan disuntik dengan kimia ini. Sekarang... Tanpa disedari... ikan-ikan yang Kita makan Hari-Hari mengandungi kimia itu. Apa hukumnya pulak? Kalau Kita beli ikan di pasar... Ada caranya untuk Kita mengesan. Kalau ikan-ikan itu TIDAK dihinggapi lalat.. Bermakna ikan-ikan itu telah direndam dengan kimia Fomilin... Kerana .. Lalat lebih mengetahui.

Monday, July 14, 2008

Ketika Pertama Kali Membuka Kitab “Ringkasan Shahih al-Bukhari”

*Catatan dari seorang hamba muslim.

Pengalaman kira-kira sekitar lima tahun yang lalu, bagi aku agak menggelikan hati dan membuatkan aku sentiasa tersenyum mengingatkannya.

Iaitu ketika mana pertama kali aku membuka, membelek-belek, dan mula membaca isi kandungan sebuah kitab yang dikatakan sebagai sebuah kitab sumber agama kedua terpenting selepas al-Qur’an. Dengan berbantukan sebuah semangat mahukan ilmu dalam beragama, aku usahakan memiliki sebuah kitab hadis yang merupakan sebuah kitab ringkasan dari salah satu kitab hadis terkemuka. Iaitu kitab Shahih al-Bukhari yang telah diringkaskan susunan Imam az-Zabidi, terbitan Crescent News (KL) SDN. BHD.

Sungguh membuatkan aku pelik dan sedikit runsing apabila membaca beberapa hadis di dalamnya yang kebanyakannya bercanggah dengan kefahaman aku dan amalan masyarakat sekelilingku. Pada ketika itu, aku sempat memulakan dengan melangkah kepada topic-topic tertentu dari kitab tersebut sekitar Kitab Solat dan Thaharah.

Mana tidaknya, suatu yang di luar kebiasaan aku, tetapi ada di dalam kitab Shahih tersebut. Sungguh pelik, kenapa doa qunut bukan hanya saja boleh dibaca di dalam solat subuh. Tetapi juga di dalam solat-solat fardhu yang lain, malah mana-mana solat fardhu. Hatiku berbisik, “Kenapa macam ini ye...?”

Aiii, dalam keadaan luka-luka berdarah pun boleh menunaikan solat? Tak najis ke? Mana boleh solat dalam keadaan ada najis?

Emmm, mengapa boleh juga membaca surah di dalam solat bukan terhad kepada rakaat pertama dan kedua sahaja ke? Malah rupa-rupanya membaca surah di rakaat ketiga dan keempat juga ada contohnya... “peliknya aku rasakan...”

Agak terkejut, bahawa tersebut di dalam kitab al-Bukhari tersebut bahawa bolehnya bergerak-gerak dan berjalan di dalam solat seperti untuk mendukung anak, menghalang orang yang melintasi semasa solat, mengawal pergerakan keldai ketika solat, juga yang seumpama dengannya. Sedangkan apa yang aku fahami sebelum ni, mana boleh gerak-gerak ikut suka hati. Kalau boleh pun, dalam gerakan yang kecil dan tak lebih tiga kali...

Begitulah beberapa perkara yang aku terbaca darinya, membuatkan aku begitu sukar menerima bahawa ia adalah suatu yang benar adanya. Sehinggakan ia menjadikan aku berprasangka, “benarkah kitab ini???”.

Begitulah beberapa perkara yang agak merunsingkan aku ketika pertama kali mula cuba memahami hadis-hadis yang telah direkodkan/dibukukan oleh Imam al-Bukhari. Sehinggakan atas sebab kejahilan dan prasangka yang tidak menyenangkan, aku meninggalkannya selama hampir satu tahun begitu sahaja kitab tersebut tanpa aku buka. Semuanya atas kerana kepelikan yang aku rasai daripada kitab tersebut lantaran beberapa kandungannya yang kontra dengan amalan semasa.

Namun, akhirnya aku diberikan kefahaman yang aku bersyukur dengannya. Dan dengan kefahaman tersebut aku kembali membukanya naskhah demi naskhah. Yang mana, kebenaran dalam beragama itu bukanlah diasaskan berdasarkan adat kebiasaan yang aku lihat selalu dari masyarakatku mengamalkannya. Tetapi, kebenaran itu adalah kembali kepada Kitabullah dan sunnah-sunnah Rasulullah yang sahih walau ia dianggap begitu pelik dan aneh bagi mereka yang tidak dan belum memahami... (Wallahu a’lam...)

Nawawi Subandi,
07:20, 14/07/2008,
Bandaraya Anggerik (Shah Alam).

Sunday, July 13, 2008

Menutup hujung malam dengan witir

Al-Witr (atau Witir), menurut syar’i adalah solat yang dilakukan di antara isya’ hingga terbit fajar. Solat malam ditutup dengan solat witir. Dinamakan solat witir kerana jumlah rakaatnya ganjil, seperti satu, tiga, lima, atau lebih, dan bukan genap.

Berkenaan solat witir, ianya diperselisihkan dalam suatu sisi/sudut. Ada yang menyatakan bahawa ia adalah sebahagian dari solat malam atau Tahajjud. Manakala sebahagian yang lain menyatakan bahawa solat witir tidak termasuk dalam kategori solat tahajjaud. (Rujuk: al-Majmu’, al-Imam an-Nawawi. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, jil. 2, m/s. 20)

Solat witir adalah penutup bagi solat-solat malam adalah berdasarkan dalil-dalil berikut,

Daripada Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa mengerjakan solat pada malam hari. Ketika beliau hendak mengerjakan solat witir, beliau membangunkan aku, “Bagunlah untuk mengerjakan solat witir wahai Aisyah”. Aku pun mengerjakan solat witir” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Hadis dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khuwatir tibanya waktu subuh, maka solatlah witir satu rakaat untuk menutup solat malam yang telah dilakukan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

“Jadikanlah solat terakhir kamu pada malam hari sebagai witir.” (Hadis Riwayat Muslim)

Hukum Solat Witir

Solat witir adalah suatu sunnah yang muakkadah (yang ditekankan perlaksanaannya). Ini adalah pendapat majoriti ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang sesudah mereka. Manakala pendapat dari mazhab Abu Hanifah, ia mengatakan sebagai solat yang diwajibkan, dan ia merupakan suatu pendapat yang ganjil dari beliau.

Ini dijelaskan sebagaimana hadis berikut ini,

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Witir itu tidak wajib sebagaimana perihal solat maktubah (solat yang telah diwajibkan), akan tetapi ia sunnah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Hadis Riwayat an-Nasa’i dan at-Tirmidzi. Dihasankan oleh at-Tirmidzi, Sahih menurut al-Hakim, dan juga disahihkan oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi)

Menurut al-Imam ash-Shan’ani,

Majoriti ulama berpendapat tidak wajibnya solat witir. Mereka berdalilkan dengan hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, “Witir bukanlah kewajiban sebagaimana perihal solat fardhu, akan tetapi merupakan solat sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” (Lihat: Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007, oleh al-Imam ash-Shan’ani, jil. 2, m/s. 587)

Waktu Untuk Berwitir

Para ulama bersepakat bahawa solat witir dilakukan di antara waktu Isya’ hingga terbit fajar.

Ini adalah berdasarkan beberapa hadis yang berikut,

Dari Abu Sa’id secara marfu’,

“Berwitirlah sebelum tiba waktu Subuh.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Bashrah secara marfu’,

“Sesungguhnya Allah menambah bagi kalian satu rakaat, iaitu solat witir, maka kerjakanlah solat tersebut di antara solat Isya’ sehingga terbit fajar.” (Hadis Riwayat Ahmad dan ath-Thahawi. Disahihkan oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Hadis dari Ibnu Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khuwatir tibanya waktu subuh, maka solatlah witir satu rakaat untuk menutup solat malam yang telah dilakukan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu sa’id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mendapati subuh tetapi dia belum mengerjakan solat witir, tidak ada kewajiban baginya untuk mengerjakan witir.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban di dalam Shahihnya. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Ibnu Khuzaimah dan juga Sahih menurut Syu’aib al-Arnouth di dalam Shahih Ibni Hibban)

Berwitir Di Awal Malam Atau Akhir Malam

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa di antara kamu yang khuwatir tidak terbangun pada akhir malam, maka hendaklah ia berwitir pada awal malam lalu tidur. Barangsiapa di antara kalian yang ingin bangun pada akhir malam, hendaklah ia berwitir pada akhir malam. Kerana solat pada akhir malam itu disaksikan oleh para malaikat dan itu lebih afdhal.” (Hadis Riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Kepelbagaian Bentuk Solat Witir Menurut Bilangan rakaat

1 - Satu Rakaat Witir,

“Solat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khuwatir tibanya waktu subuh, maka solatlah witir satu rakaat untuk menutup solat malam yang telah dilakukan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Aisyah, “Bahawasanya Rasulullah biasa solat malam sebelas rakaat, beliau menutupnya dengan satu rakaat Witir.” (Hadis Riwayat Muslim)

2 - Tiga Rakaat Witir,

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Solat witir merupakan hak setiap Muslim. Oleh kerana itu, barangsiapa ingin mengerjakan witir tiga rakaat, hendaklah dia mengerjakannya. Dan barangsiapa mengerjakan satu rakaat, hendaklah dia mengerjakannya.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi daud)

i - Mengerjakan solat witir tiga rakaat dengan satu tasyahud dan satu salam,


Ini adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah menambah solat malam lebih dari sebelas rakaat, sama ada pada bulan Ramadhan atau pun di luar Ramadhan. Beliau solat empat rakaat, dan jangan ditanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau solat empat rakaat, dan jangan ditanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau solat tiga rakaat”. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan juga dari Aisyah, “Rasulullah pernah mengerjakan solat Witir tiga rakaat, dan tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang terakhir.” (Hadis Riwayat Malik, al-Baihawi, ath-Thahawi, an-Nasa’i, dan al-Hakim)

Tidak disyariatkan mengerjakan tiga rakaat Witir dengan dua tasyahud dan satu salam, seperti solat Maghrib. Ini adalah berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu berwitir tiga rakaat. Berwitirlah dengan lima atau tujuh rakaat. Janganlah menyerupakannya dengan solat Maghrib.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Hibban, dan ad-Daruquthni. Disahihkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam at-Talkhish dengan menyatakan, “Seluruh sanadnya tsiqah (terpercaya)”)

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah menggabungkan di antara hadis-hadis yang ada dan juga beberapa atsar yang menunjukkan disyariatkannya solat Witir dengan tiga rakaat. Dia memberi indikasi bahawa solat tersebut bersambungan dengan satu tasyahud saja di akhir rakaat. Adapun hadis yang menunjukkan melarang Witir tiga rakaat adalah sebenarnya menunjukkan bahawa solat Witir itu yang dengan dua tasyahud (tanpa dipisahkan dengan salam), kerana keserupaan solat itu dengan solat maghrib. (Fathul Bari, 2/481, Nailul Authar, 2/214 (imam asy-Syaukani). Dinukil dari: Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kedua – Januari 2008, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, jil. 1, m/s. 443)

ii - Solat Witir Tiga Rakaat Dengan Dua Salam,

Ini adalah berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia menyatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam pernah memisahkan di antara yang genap (dua rakaat) dan ganjil (satu rakaat) dengan salam yang beliau perdengarkan kepada kami.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban dan Ahmad. Menurut al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani sanad hadis ini qawiy (kuat). Menurut al-Albani, hadis ini memiliki satu penguat yang marfu’)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu, “Bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan Witir satu rakaat dan berbicara di antara dua rakaat dan satu rakaat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Lihat di dalam al-Irwa’ al-Ghalil, oleh al-Albani)

Dalam hal ini, Ibnu Hibban telah membuat satu bab dalam, Kitab Shahihnya, dengan judul: “Tentang riwayat yang menunjukkan bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam biasa memisahkan dengan salam di antara dua rakaat pertama dengan rakaat ketiga.”

Surah Yang Dibaca,

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia menyatakan, Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam biasa membaca dalam solat witir dengan “سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى” dan “قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ” serta “قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ”, rakaat demi rakaat.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

3 – Solat Witir Lima Rakaat Satu Tasyahud,

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Nabi solat malam tiga belas rakaat, termasuk Witir lima rakaat dan tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang terakhir.” (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi)

Dianjurkan jika berwitir lima rakaat untuk tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat yang kelima.

4 – Solat Witir Tujuh Rakaat,

i – Tujuh rakaat tanpa duduk (tasyahud) kecuali di rakaat yang terakhir,

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masuk usia tua dan sudah semakin kurus, beliau mengerjakan solat witir tujuh rakaat.” (Hadis Riwayat Muslim) Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Beliau tidak duduk melainkan pada rakaat yang terakhir...” (Hadis Riwayat an-Nasa’i. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia menyatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengerjakan solat witir tujuh atau lima rakaat yang masing-masing rakaat tidak dipisahkan oleh salam dan juga ucapan.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

ii – Tujuh rakaat tanpa duduk kecuali pada rakaat keenam,

Ia adalah berdasarkan hadis daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia menyatakan, “Kami pernah menyiapkan untuk beliau siwak dan air untuk bersuci. Allah membangkitkan (membangunkan) beliau bersesuain dengan kehendak-Nya pada suatu malam lalu beliau bersiwak dan berwudhu’. Kemudian beliau mengerjakan solat tujuh rakaat tanpa duduk, kecuali pada rakaat yang keenam (tasyahud). Kemudian beliau duduk, berdzikir kepada Allah lalu berdoa.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban. Sanadnya dinilai sahih menurut Syaikh Syu’aib al-Arnouth di dalam Shahih Ibni Hibban)

5 – Solat Witir Sembilan rakaat,

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “.. Kami pernah menyiapkan untuk beliau siwak dan air untuk bersuci. Allah membangkitkan beliau bersesuaian dengan kehendaknya pada suatu malam, lalu beliau bersiwak dan berwudhu’. Kemudian beliau mengerjakan solat sembilan rakaat dengan tidak duduk, kecuali pada rakaat yang kelapan. Kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau bangkit dan tidak salam lalu beliau berdiri dan mengerjakan rakaat yang kesembilan. Setelah itu, beliau duduk lalu berdzikir, memuji, dan berdoa kepada Allah. Kemudian beliau mengucapkan salam yang kami juga mendengarnya...” (Hadis Riwayat Muslim)

Tiada Dua Witir Dalam Satu Malam

Ini adalah berdasarkan hadis dari Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Disahihkan oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi)

Menurut Ibnu Qudamah rahimahullah,

“Mereka yang mengerjakan solat witir pada malam hari, kemudian bangun untuk mengerjakan solat Tahajjud, maka dianjurkan untuk mengerjakan dua rakaat, dua rakaat, dan tidak menambahkan solat witirnya. Pernyataan ini diriwayatkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Ammar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Aidz bin Amr, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, serta Aisyah radhiyallahu ‘anhum.

Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Tidakkah kamu menganggap bahawa Tahajjud tersebut membatalkan solat Witir?” Ia menjawab, “Tidak.” Setelah itu ia mengatakan, “Apabila seseorang melakukan hal itu, maka tiada masalah, kerana telah dilakukan juga oleh yang lain.” (Lihat: al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007, Jil. 2, m/s. 543-544)

Menurut Sheikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah,

“Yang disunnahkan adalah mengakhirkan solat witir, tetapi jika seseorang mengerjakan solat witir di awal malam, dia tidak perlu lagi mengerjakannya di akhir malam. Perkara ini didasarkan pada hadis, “Tidak ada dua witir dalam satu malam”. Orang yang berpendapat bahawa solat witir yang dikerjakan di awal malam itu terbatal oleh solat yang dikerjakan setelahnya maka dengan itu bererti dia mengerjakan solat witir tiga kali. Yang benar adalah jika seseorang telah mengerjakan solat witir di awal malam kemudian dia masih mengerjakan solat lagi di akhir malam, dia tidak perlu mengerjakan solat witir lagi, tetapi cukup dengan solat witir sebelumnya. (Lihat: Majmu’u Fatawaa ibn Baaz, 10/310-311. Dinukil dari Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kedua – Januari 2008, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, m/s. 451)

Membaca Doa Qunut Di Dalam Solat Witir

Perkataan/kata “Qunut” digunakan untuk beberapa makna, di antaranya adalah berdiri, diam, rutin beribadah, doa, tasbih, dan khusyu’. Menurut istilah, ialah nama untuk suatu doa yang diucapkan dalam solat pada waktu tertentu di saat berdiri. (al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ala al-Adzkar an-Nawawiyah, 2/286. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)

Di antara dalil yang menjadi dasar disunnahkan doa qunut di dalam solat witir adalah,

Hadis al-Hasan bin Ali, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku baca dalam witir, “Allahummah dini fi man hadait... (dan seterusnya)”.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab: “Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan solat Witir, lalu beliau berqunut sebelum ruku’.” (Hadis Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Menurut Ibnu Qudamah, “Bahawa doa qunut dianjurkan pada rakaat terakhir dalam solat witir dan semua solat sunnah. Inilah pendapat yang disebutkan sebahagian sahabat kami dalam mazhab. Ini adalah pendapat atau riwayat Ibnu Mas’oud, Ibrahim, Ishaq, dan para ulama ra’yi (rasionalis).... ... Dalam riwayat Mawardzi, imam Ahmad telah mengatakan, “Aku berpendapat bahawa qunut tersebut dibaca pada pertengahan akhir bulan Ramadhan. Selain itu aku yakin bahawa Qunut adalah doa dan kebaikan.” Alasan pendapat imam Ahmad ini adalah sebuah riwayat Ubay, bahawa Rasulullah sering mengerjakan solat witir dan membaca doa qunut sebelum ruku’. (Lihat: al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, dan Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007, Jil. 2, m/s. 543-544)

Menurut Sheikh al-Albani, “... Kami katakan (perbuatan membaca qunut di dalam solat witir) kadang-kadang (bukan suatu yang dilakukan selalu), sebab bila Nabi selalu melakukannya, tentu para sahabat akan meriwayatkan hal tersebut. Memang hanya Ubay bin Ka’ab yang meriwayatkan hal itu dari Nabi. Oleh kerana itu, hal ini menunjukkan bahawa beliau melakukannya kadang-kadang dan hal ini tidak wajib. Inilah yang menjadi pendirian jumhur ulama. Hal ini juga diakui ahli fiqh, Ibnul Hamam dalam kitab Fathul Qadir (1/306, 259, dan 360). Beliau menyatakan bahawa mewajibkan qunut dalam witir adalah pendapat yang lemah yang tidak berasaskan dalil. Hal ini merupakan sikap lapang dada beliau...” (Lihat: Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Terbitan Media Hidayah, Cet. Kedua – 1996M, oleh Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, m/s. 224)

Doa Qunut Dibaca Pada Sebelum Ruku’ Atau Selepas Ruku’?

Dari imam Ahmad disebutkan bahawa ia mengatakan, “Aku berpendapat doa qunut dibaca setelah bangun dari ruku’. Apabila seseorang membaca qunut sebelumnya, itu pun diperbolehkan. Pendapat ini didukung oleh Ayyub as-Sakhtiani. Hal ini adalah berdasarkan riwayat Humaid, bahawa Anas pernah ditanya tentang doa qunut dalam solat subuh. Ketika itu dia menjawab, “Kami biasa membaca doa qunut sebelum ruku’.”

Menurut imam Malik dan Abu Hanifah, doa qunut dibaca sebelum ruku’. (Lihat: al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007, Jil. 2, m/s. 543-544)

Hadis-hadis yang mendukung kedua-dua pendapat ini adalah sebagaimana berikut,

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab: “Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan solat Witir, lalu beliau berqunut sebelum ruku’.” (Hadis Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Diriwayatkan dari ‘Ashim, ia berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut, maka ia menjawab, “Qunut memang pernah dikerjakan”. Aku bertanya lagi, “Adakah seblum ruku’?” Ia menjawab, “Itu dusta. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah qunut sesudah ruku’ selama sebulan. Aku melihat beliau mengutus satu rombongan yang beranggotakan para penghafal al-Qur’an sebanyak lebih kurang tujuh puluh orang kepada suatu kaum dari kalangan musyrikin yang ternyata mereka diperangi, padahal sebelumnya antara mereka dengan Rasulullah terdapat perjanjian damai. Maka, Rasulullah berqunut selama satu bulan untuk mendoakan keburukan ke atas mereka.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah membaca setelah selesai dari bacaan solat Subuh dan bertakbir serta mengangkat kepalanya: “Sami’Allahu liman hamidah. Rabbana walakal hamdu”. Kemudian beliau membaca ketika masih dalam keadaan berdiri: “Ya Allah, selamatkanlah Walid bin Walid...”.” (Hadis Riwayat Muslim)

Begitu juga hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah membaca qunut selama satu bulan berturut-turut pada waktu Zuhur, Asar, Maghrib, Isya’, dan solat Subuh di akhir setiap solat setelah mengucapkan “Sami’Allahu liman hamidah. Rabbana walakal hamdu” pada rakaat terakhir untuk mendoakan orang-orang yang masih hidup dari kalangan Bani Sulaim dan mendoakan kebinasaan Ri’lin, Dzakwan, dan Ushaiyah. Makmum di belakang beliau mengaminkan doa beliau.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi Daud)

Jika diperhatikan, qunut yang dilakukan sebelum ruku’ adalah qunut dengan doa yang bersifat umum dan dilakukan di dalam solat witir sebagaimana hadis dari al-Hasan bin Ali, manakala qunut yang dilaksanakan selepas ruku’ adalah qunut yang doanya bersifat khusus bagi mendokan kehancuran pihak musuh dan keselamatan kaum muslimin (qunut Nazilah) yang dilaksanakan di dalam solat fardhu.

Dalam hal ini, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata di dalam Fathul Bari (2/569): “Kesimpulan riwayat dari Anas bin Malik bahawa qunut kerana suatu hajat (doa yang bersifat khusus) dilakukan setelah ruku’. Tidak ada riwayat dari beliau yang menyelisihi hal ini. Adapun yang dilakukan tanpa hajat, menurut dalil sahih, qunut dilakukan sebelum ruku’. Telah diperselisihkan tentang amalan sahabat dalam hal ini. Secara zahirnya bahawa perselisihan ini adalah perselisihan (khilaf) yang bersifat mubah (harus/tidak mengapa). (Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)

Berkenaan Qunut Nazilah ini Sheikh Dr. Sa’id Wahf bin Ali al-Qahthani berkata,

“Telah diriwayatkan dengan sahih dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bahawa beliau melakukan qunut Nazilah selama sebulan, berdoa melaknat satu kaum. Teriwayat dengan sahih bahawa beliau berdoa untuk kaum yang lemah dari kalangan para sahabat beliau yang ditawan oleh satu kaum sewaktu mereka berhijrah. Ketika penyebab beliau melakukan qunut tersebut sudah tidak ada lagi, beliau pun meninggalkannya. Nabi tidak pernah melakukan qunut secara rutin dalam solat wajib yang manapun, solat subuh atau solat yang lainnya. Demikian juga halnya dengan para Khulafa’ur Rasyidin. Mereka melakukan qunut tersebut dengan cara yang sama. Mereka tidak pernah melakukannya secara rutin. Namun jika penyebab qunut itu sudah tidak ada, mereka meninggalkan qunut tersebut. Apa yang sunnahnya (yang tsabit dari sunnah) adalah melakukan qunut Nazilah dan berdoa berdasarkan kepada keadaan, iaitu untuk mendoakan kebaikan bagi suatu kaum, atau untuk melaknat mereka, dan disesuaikan juga dengan bencana yang terjadi.

Diriwayatkan dengan sahih bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan qunut pada solat subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya’. Namun perlaksanaan di dalam solat Subuh dan Maghrib adalah lebih ditekankan. Ketika penyebab qunut itu sudah tidak ada, beliau pun meninggalkannya, termasuk juga pada solat subuh.” (Kumpulan Shalat Sunnah Dan Keutamaannya, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Darul Haq, Cet. Ketujuh – Feruari 2007M, m/s. 75)

Lafaz Doa Qunut Witir

اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، [وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ]، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” (Hadis Riwayat Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim dan al-Baihaqi. Doa yang ada di antara dua kurung, adalah menurut riwayat al-Baihaqi. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah dan Irwa’ul Ghalil)


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.” (Hadis Riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah, dan Irwa’ul Ghalil)


اَللَّهُمَّ إيـَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحَقٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ

“Ya Allah! Kepada-Mu kami menyembah. Untuk-Mu kami melakukan solat dan sujud.Kepada-Mu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut pada siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada-Mu, kami tunduk padaMu dan berpisah pada orang yang kufur kepada-Mu.” (Hadis Riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, sanadnya menurut pendapat al-Baihaqi adalah sahih. Al-Albani menilainya sahih di dalam Irwa’ul Ghalil dengan menyatakan: “Sanadnya sahih dan mauquf pada Umar”)

Tasbih/Doa/Zikir Sesudah salam Solat Witir

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah membaca pada solat witir: “سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأعْلَى”, “قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ” dan “قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ”. Kemudian sesudah salam, beliau mengucapkan: Subhana al-Malikil Quddus tiga kali.” (Hadis riwayat Abu Daud)

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
(3× يجهر بها ويمد بها صوته يقول)
[رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ]

Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. (Hadis Riwayat an-Nasa’i, ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Kalimat di antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya. Sanadnya sahih, lihat Za’dul Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth)

Diriwayatkan dari Ali bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada akhir Witir mengucapkan:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri.” (Hadis Riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Shahih at-Tirmidzi, Shahih Ibnu Majah, dan Irwa’ul Ghalil)

Mengqadha Solat Witir

Jika tertidur atau terlupa mengerjakan solat Witir, maka ia boleh dikerjakan ketika bangun atau setelah teringat pada waktu tertentu. Hal ini adalah berdasarkan beberapa hadis,

Hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang tertidur atau terlupa mengerjakan solat Witir, maka hendaklah ia mengerjakannya pada pagi hari atau ketika sebaik saja ia ingat.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam al-Irwa’ al-Ghalil)

Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadis ini menunjukkan bahawa orang yang tertidur dari Witirnya atau terlupa melakukannya maka hukumnya seperti hukum orang yang tertidur dan terlupa dari solat fardhu. Dalam keadaan seperti ini, ia boleh mengerjakan solat itu ketika bangun atau ketika ia ingat. (Lihat: Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007, oleh al-Imam ash-Shan’ani, jil. 1, m/s. 606)

Hadis dari Umar al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tertidur pada malam hari sehingga luput zikir dan bacaan al-Qur’annya atau sebahagian darinya lalu dia mengerjakannya di antara solat subuh dan solat zuhur, maka ditetapkan baginya seakan-akan dia solat di malam hari.” (Hadis Riwayat Muslim)

Dalam persoalan ini, mereka yang sengaja meninggalkan solat Witir tanpa uzur dan sehingga terbit fajar, maka tidak disyariatkan mengqadha baginya. Ini adalah berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

“... Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika mengerjakan suatu solat, beliau suka untuk mengerjakannya secara terus-menerus (membiasakannya). Jika beliau tertidur atau sakit sehingga tidak dapat bangun malam, beliau akan mengerjakan solat pada siang hari sebanyak dua belas (12) rakaat. Aku tidak mengetahui Nabi Allah pernah membaca al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu malam, tidak juga mengerjakan solat satu malam sehingga subuh, dan tidak juga berpuasa satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadhan...” (Hadis Riwayat Muslim)

Telah diketahui bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan solat malamnya tidak lebih dari sebelas rakaat,

“Rasulullah tidak pernah menambah solat malam lebih dari sebelas rakaat, sama ada pada bulan Ramadhan atau pun di luar Ramadhan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

“Bahawasanya Rasulullah biasa solat malam sebelas rakaat, beliau menutupnya dengan satu rakaat Witir.” (Hadis Riwayat Muslim)

dan telah diketahui juga bahawa qadha solat Witir pada siang hari dengan jumlah rakaat genap. Barangsiapa yang kebiasaan solat Witirnya pada malam hari satu rakaat, maka qadhanya pada siang hari dua rakaat. Barangsiapa yang kebiasaan witirnya tiga rakaat, maka ia mengqadhanya empat rakaat. Dan demikian seterusnya. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, jil. 2, m/s. 38)

Berkenaan hadis “... Barangsiapa yang menjumpai waktu Subuh tetapi dia belum berwitir, maka tiada witir baginya”, menurut imam ash-Shan’ani,

“Adapun jika yang dimaksudkan adalah tidak boleh mengqadha, maka bukan itu yang dimaksudkannya. Akan tetapi yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah orang yang meninggalkannya secara sengaja. Sesungguhnya ia akan terlewatkan sebuah sunnah yang mulia sehingga ia tidak akan menemukannya.” (Lihat: Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007, oleh al-Imam ash-Shan’ani, jil. 1, m/s. 606)

Rujukan/Maraji:

1 - al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, Tahqiq oleh: Dr. M. Syarafuddin Khathab, Dr, Sayyid Muhammad Sayyid, Prof. Sayyid Ibrahim Shadiq. Terbitan Pustaka Azzam, Cet. Pertama – Jun 2007.

2 - Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, oleh al-Imam ash-Shan’ani, Terbitan Darus Sunnah Press, Cet. Pertama – Oktober 2007.

3 – Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kedua – Januari 2008.

4 – Shahih Fiqih Sunnah, oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Terbitan Pustaka at-Tazkia, Cet. Kedua – Mac 2007.

5 – Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, oleh Sheikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Cet. Kelima – Februari 2007M.

6 – Kumpulan Shalat Sunnah Dan Keutamaannya, oleh Sheikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Darul Haq, Cet. Ketujuh – Feruari 2007M.

Renung-renungkanlah nasihat Mufti Perlis.

Islamik Web Direktori